Kamis, 26 Januari 2012

Memahami Masyarakat Adat di Indonesia

Sumber dari  berbagai Bacaan , tulisan Koran dan Opini
 sekedar memahami dan berinvestasi dalam masyarakat Adat.


Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat baru-baru ini mewajibkan investor mengakui dan menghormati hak wilayah kelola maupun tradisi adat masyarakat setempat. Termasuk norma dan hukum adat yang berlaku di sekitar lokasi kegiatan usaha. Selama ini provinsi Kalimantan Barat termasuk daerah yang menarik bagi investor karena banyaknya peluang bisnis seperti perkebunan sawit, karet, dan kelapa. Namun masalahnya investasi di daerah seringkali menimbulkan konflik dengan masyarakat adat. Lalu bagaimana pelaksanaan kebijakan ini? Apa saja yang harus diperhatikan oleh para investor?

Wajib Hormati Adat

PONTIANAK—Pemerintah Provinsi Kalbar mewajibkan investor mengakui dan menghormati hak wilayah kelola maupun tradisi adat masyarakat setempat, termasuk norma dan hukum adat yang berlaku di sekitar lokasi kegiatan.”Ini untuk menjaga keseimbangan agar dampak negatifnya dapat diminimalisir,” ujar Wakil Gubernur Kalbar, Christiandy Sanjaya di DPRD Kalbar, Senin (27/6) pagi.Menurut Christiandy, Kalbar termasuk daerah yang menarik untuk investor. Investasi ini dapat bermanfaat bagi semua pigak. Apalagi saat ini Pemprov Kalbar ingin mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat.”Dengan adanya investasi, kesejahteraan rakyat dapat meningkat. Perusahaan juga bisa dapat untuk. Makanya agar bisa terealisasi, perlu kepastian hukum dengan rancangan perda,” kata Christiandy.
Kepastian hukum ini untuk memberi rasa aman dalam penanaman modal. Masyarakat, budaya lokal, dan lingkungan tetap terjaga dengan baik. Peluang usaha itu ada di semua sektor, termasuk perkebunan sawit, karet, kelapa, kakao, jagung, dan sektor pertanian. ”Kita merencanakan misalnya 1,5 juta hektar untuk sawit. Tetapi yang tertanam hanya 500 ribu. Ada sejuta sisanya yang mungkin karena belum terealisasi. Pendataan soal izin perkebunan ini ada di Dinas Perkebunan,” katanya.

Sebagai upaya menjaga keseimbangan dari investasi, pemprov juga meminta penanam modal menjaga kelestarian fungsi lingkungan dan melakukan rehabilitasi lingkungan, jika terjadi kerusakan dari usaha yang dilakukan. Investor harus melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan dengan memperhatikan masyarakat lokal. Diwajibkan juga melakukan konsultasi publik/sosialisasi yang berimbang kepada masyarakat di sekitar lokasi kegiatan.”Penanaman modal hanya dapat tercapai jika faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal tersebut dapat diatasi dengan baik,” ujarnya. (uni)
Sumber : 
pontianakpost.com

Investasi Versus Kearifan Lokal
Konflik antara masyarakat adat dengan investor di satu daerah bukanlah hal yang baru. Acap kali kita mendengar di berbagai daerah terjadi konflik saat kepentingan ekonomi berbenturan dengan adat di wilayah tersebut. Padahal sesungguhnya keberadaan masyarakat adat telah dilindungi konstitusi. UUD 1945 pasal 18 mengamanatkan negara mengakui keberadaan masyarakat adat dan teritorialnya, termasuk kearifan lokal yang masih ada.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN Kalimantan Barat Sujarni Alloy mengatakan, konflik antara pemodal dan masyarakat telah terjadi sejak dimulainya investasi di satu daerah, tak terkecuali di Kalimantan Barat.
“Padahal Indonesia menjadi salah satu penandatangan deklarasi terkait pengakuan hak-hak masyarakat adat yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa PBB beberapa tahun lalu”, katanya.
Menurut catatan AMAN, di Kalimantan Barat konflik antara investor dan masyarakat adat mencapai 200 lebih kasus. Benturan ini terjadi karena investor yang tidak mengakui hak-hak masyarakat adat di wilayah tersebut. Reformasi hukum yang terjadi selama ini pun menurut Sujarni tidak ada yang menyinggung tentang hak masyarakat adat.
Sementara itu menurut Wakil Ketua DPRD Kalimantan Barat Nicodemus R Toun, perlu adanya regulasi permanen yang dapat menjadi acuan dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.
“Kami sedang menggodok rancangan peraturan daerah yang dusulkan Dewan Adat Provinsi Kalimantan Barat terkait masyarakat Dayak”, lanjut Nicodemus.
Diharapkan nantinya aturan ini bisa diterima seluruh pihak yang berkepentingan seperti masyarakat dayak, pemodal, dan pemerintah sendiri serta tidak lupa tentunya selaras dengan hukum yang berlaku.
Pendapat yang hampir senada juga disampaikan oleh dosen Fakultas Hukum, Universitas Tanjung Pura, Pontianak, Aswandi. Menurutnya, aturan hukum yang ada di Indonesia saat ini yang terkait hak masyarakat adat masih mengandung banyak persyaratan. Hal ini menunjukkan adanya pemaksaan dari negara mengenai bentuk hukum adat yang diakui.
“Padahal hukum adat di setiap daerah berbeda satu sama lain karena mempunyai nilai yang berbeda. Belum lagi adanya keberpihakan terhadap kepentingan ekonomi dalam aturan hukum yang ada”, lanjut Aswandi.
Penyelamatan Hak Masyarakat Adat
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Tanjung Pura, Pontianak, Aswandi mengatakan, kelemahan yang terjadi saat ini adalah anggapan bahwa hukum yang diakui di Indonesia adalah hukum yang tertulis.
“Hukum adat ada ratusan dan banyak yang tidak tertulis. Karena itulah perlu adanya undang-undang yang melindungi dan mengakui hukum adat. Jika hukum adat hendak diadopsi dalam hukum positif atau tertulis maka perlu disaring dan dipastikan tidak bertentangan dengan Pancasila”, lanjut Aswandi.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN Kalimantan Barat Sujarni Alloy mengatakan, hal yang terpenting adalah bagaimana pemerintah mengartikan hak masyarakat adat. Karena itu penting adanya hukum yang melindungi dan mengakui hukum adat. Dengan adanya hukum maka akan menjadi acuan segala aturan yang mengikuti terkait hak masyarakat adat. Sujarni Alloy menegaskan bahwa masyarakat adat telah ada sebelum Indonesia terbentuk, mereka pula yang juga turut membantu mendeklarasikan kemerdekaan negara ini.

Investasi Bisnis Versus Hak Adat


Nestor Rico Tambunan
Keadilan, kata pengarang Prancis Emile Zola, tak mungkin ada kecuali dalam kebenaran. Dan kebahagiaan tak mungkin ada, kecuali dalam keadilan.
Kebenaran ucapan Emile Zola ini akan amat terasa bila merenungi nasib masyarakat adat di berbagai belahan bumi Nusantara saat ini. Perusahaan-perusahaan besar terus menerobos deras menanam investasi sampai ke jantung pemukiman suku-suku dan masyarakat adat, menguasai tanah dan segala kekayaannya, dan memarjinalkan hak-hak ulayat masyarakat adat setempat.
Masyarakat-masyarakat adat semakin tersingkir dan dimiskinkan. Padahal, masyarakat-masyarakat itu sudah turun-temurun hidup di sana, jauh sebelum perusahaan itu ada, bahkan sebelum negeri ini berdiri.
Lalu, dimana kebenaran dan keadilan?
Kasus Masyarakat Tapanuli
Salah satu contoh pemarjinalan hak masyarakat adat paling kontroversial adalah pencaplokan hutan-hutan alam di kawasan Tapanuli dan sekitar Danau Toba, Sumatera Utara, oleh PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang belakangan berubah jadi PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Perusahaan penghasil pulp ini mendapat konsesi hak penguasaan hutan tanaman industri (HPHTI) dari pemerintah tahun 1983. Dengan senjata konsesi itu, anak perusahaan grup Raja Garuda Mas milik konglomerat Sukanto Tanoto ini menebangi hutan-hutan di kawasan Tapanuli dan selanjutnya mengganti dengan tanaman eukaliptus. Masyarakat-masyarakat adat Batak yang sudah turun temurun mengelola dan menjaga hutan tersebut protes, sehingga menimbulkan bentrok fisik, hukum, dan konflik sosial.
Konflik itu terus berlangsung selama 27 tahun. Konflik terakhir adalah protes masyarakat atas penebangan hutan kemenyan di Kab. Humbang Hasundutan. Kemenyan adalah komoditi unggulan lokal kawasan Humbang yang sangat langka, bukan hanya untuk ukuran Indonesia, bahkan dunia, karena hanya ada hutan di wilayah ini. Sudah ratusan tahun hutan kemenyan tersebut secara turun temurun menjadi sumber ekonomi penduduk setempat.
TPL merasa berhak menebangi hutan kemenyan dan kemudian mengganti dengan eukaliptus, dengan alasan hutan tersebut masuk kawasan konsesi HPHTI mereka. Dari sekitar 30.000-an hektar hutan kemenyan, konon kini hanya tersisa 7.400 hektar. Sisa itu pun terus mendapat tekanan, karena dikelilingi hutan tanaman industri TPL.
Masyarakat adat Humbang Hasundutan tidak berdaya, karena seperti dalam konflik-konflik sebelumnya, aparat keamanan dan hukum cenderung selalu berpihak pada TPL dan cepat mengkriminalisasi rakyat. Sementara pemerintah-pemerintah daerah, entah kenapa, cenderung diam dan jadi penonton.
TPL dengan enteng menjawab semua klaim masyarakat dengan berlindung pada pemerintah selaku pemberi konsesi hak pengusahaan hutan. "TPL ini enggak punya tanah, yang punya tanah itu negara. Pemerintah memberikannya kepada kami dalam bentuk konsesi, jadi kalau mau komplain, mestinya bukan ke TPL, tetapi ke pemerintah," kata Direktur PT TPL Juanda Panjaitan. (Kompas, 28/7/ 2010).

Kasus di Berbagai Daerah
Sejarah kehidupan orang Batak di kawasan Tapanuli dan sekitar Danau Toba telah berlangsung turun temurun sejak 600 – 700 tahun lalu. Dengan kearifan khas adat Batak, masing-masing masyarakat adat menjaga hutan ulayat mereka. Hutan-hutan adat itu mengandung nilai dan fungsi konservasi yang tinggi.
Sukanto Tanoto, pemilik Raja Garuda Mas dan TPL adalah pengusaha HPH, kelapa sawit, dan pabrik kertas yang termasuk orang terkaya di Indonesia, bahkan di dunia. Ketika nenek-moyang orang Batak mulai bermukim di Tapanuli, mungkin nenek moyang Sukanto Tanoto masih di daratan China. Sungguh tak adil, masyarakat adat Batak di kawasan Tapanuli dan sekitar Danau Toba dikalahkan (dikorbankan) untuk seorang konglomerat China yang sudah mahakaya.
Tapi masyarakat Tapanuli tidak sendirian. Di berbagai kawasan lain di Sumatera, antara lain di Riau, juga terjadi kasus yang sama. Tidak hanya dengan pemegang konsesi HPH, tapi juga perkebunan-perkebunan kelapa sawit besar. Di Kalimantan, hak ulayat masyarakat-masyarakat adat Dayak sudah lama tercerai-berai oleh para pengusaha HPH. Belakangan muncul pula perkebunan-perkebunan kelapa sawit dan pengusaha-pengusaha pemegang konsesi hak penguasaan tambang (HPT) batubara.
Dulu hutan-hutan Kalimantan ditebang, sekarang ditanami kelapa sawit atau dikeruk. Bukan hanya hutan, bahkan perkampungan, kebun, dan sawah masyarakat Dayak tahu-tahu telah berada dalam konsesi perkebunan atau pertambangan para pengusaha yang datang entah dari mana. Seperti dikeluhkan Kepala Desa Long Bentuk, Kab. Kutai Timur, Kaltim, Benediktus Beng Lui, saat ini desanya terancam perluasan kebun kelapa sawit. Ketika perusahaan itu mendapat izin dari pemerintah, keberadaan desa itu tidak dicantumkan (Kompas, 20/10/2010).
Nasib yang sama juga kemungkinan akan menimpa wilayah Papua, yang kini jadi sasaran baru para investor, termasuk perkebunan. Apalagi, belakangan pemerintah sedang gencar menggolkan gagasan pertanian berskala luas, seperti proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate di Merauke.

Mengakomodasi Hak Adat
Hingga saat ini, memang belum satu pun peraturan perundangan di Indonesia yang mengakui kepemilikan tanah masyarakat adat. Baik UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maupun SK Menhut No. 44/2005 menyatakan tanah milik Negara. Artinya, hak kepemilikan tanah berada di tangan pemerintah. Pemerintah hanya mengakui hak kelola terhadap suatu tanah adat oleh masyarakat setempat, namun kepemilikan tidak.
Karena milik negara itu, pemerintah berhak mengkonsesikan kawasan hutan pada perusahaan swasta. Persoalannya, pemberian konsesi itu tanpa melihat di dalamnya terdapat tanah ulayat atau adat. Mestinya, pemerintah harus menghormati hak ulayat itu, karena mereka sudah mengelola tanah tersebut bahkan sebelum negara ini berdiri.
Tanah adat, menurut hukum adat, merupakan hak-hak perorangan atas tanah yang menjadi hak pribadi, akan tetapi didalamnya mengandung unsur kebersamaan. Istilah modernnya, mengandung "fungsi sosial". Hak ini sangat perlu dipertimbangkan, karena hukum adat juga merupakan sumber utama hukum undang-undang agraria atau hukum pertanahan Indonesia.
Akomodasi kepentingan adat di negara-negara Pasifik Selatan bisa menjadi contoh. Fiji dan Selandia Baru misalnya, selama ini mengakui dan mengakomodasi kebutuhan masyarakat adat penduduk asli. Bahkan, di Republik Rakyat China yang memakai sistem pemerintahan otoriter, keberadaan masyarakat adat (shau shu min zhu) diakui dan memiliki hak khusus.
Dalam kasus konflik masyarakat adat dengan TPL di Humbang Hasundutan, hutan-hutan kemenyan yang ratusan tahun dikuasai dan menjadi sumber ekonomi masyarakat adat setempat mestinya bisa dikeluarkan dari kawasan hutan negara sesuai SK Menhut No. 44/2005. Pemerintah Kab. Humbang Hasundutan bisa mengajukan kepada Menteri Kehutanan agar tanah ulayat hutan kemenyan tersebut dikeluarkan dari konsesi TPL.

Bagian dari Reformasi Agraria
Kearifan adat dan masyarakat lokal adalah bagian dari wujud multikulturalisme dan keberagaman Indonesia. Dan itulah sesungguhnya “Indonesian Dream” – Indonesia yang kita impikan. Bersatu dalam keberagaman. Karena itu, kepemilikan masyarakat adat terhadap tanah mestinya diproteksi atau diatur dalam undang-undang, minimal dalam bentuk peraturan daerah.
Presiden SBY pernah menjanjikan akan melaksanakan reformasi agraria. Reformasi agraria ini mestinya menjadi kesempatan mengakomodasi hak-hak ulayat masyarakat adat ini. Pemerintah harus memberi kesempatan kepada masyarakat adat untuk mengurus hak kepemilikan tanah mereka.
Caranya, dengan melakukan harmonisasi terhadap semua peraturan perundangan yang bersentuhan dengan pertanahan. Pemerintah harus mengatur pembatasan konsesi terhadap pihak swasta yang ingin membuka lahan baru, sehingga tidak main caplok dan menyerobot kawasan tanah adat. Pemerintah juga perlu mengatur peruntukan semua kawasan hutan, sehingga bisa melakukan monitoring dan evaluasi terhadap rencana ekspansi pihak swasta. Karena, pihak swasta pasti akan terus melakukan ekspansi jika diberi kesempatan.
Mestinya bisa. Mestinya Presiden SBY serius melaksakan komitmen politiknya di bidang agraria. Kalau tidak, ia akan dinilai sebagai pimpinan yang cuma gemar wacana.
Masyarakat adat sudah terlalu lama dan banyak menjadi korban. Telah begitu banyak pengusaha menjadi orang sangat kaya karena konsesi-konsesi yang diberikan pemerintah. Sementara masyarakat-masyarakat adat tetap terpuruk dalam kemiskinan, terseok-seok bertahan hidup di bumi mereka yang terkoyak-koyak.
Kalau ketidakadilan ini kita biarkan terus berlangsung, lalu dimana ke-Indonesia-an kita? Kalau negara terus absen, terus berpihak pada pemilik modal, rakyat akan merasa seperti yatim piatu. Kita harus hati-hati. Karena kita akan berhadapan dengan makin banyak masyarakat yang frustasi. Masyarakat yang semakin mudah marah karena merasa diperlakukan tidak adil.
Kebahagiaan tak mungkin ada, kecuali dalam keadilan. Dan keadilan tak mungkin ada, kecuali dalam kebenaran. *


Uji Tuntas (due deligent) sebagai pemikat Investasi
Oleh : Jun Cai SH MHum. Dalam berbagai kesempatan melakukan Uji Tuntas terhadap kemungkinan dilakukannya investasi, penulis melihat bahwa dari pendekatan sistem, Uji Tuntas ini layaknya merupakan suatu proses menuju pencapaian kepastian hukum. 
Pendekatan sistem ini dimaksudkan sebagai suatu pendekatan menyeluruh (thorough) atas pola uji tuntas yang tidak saja melihat aspek yuridis (Uji Tuntas Sistem hukum yang meliputi berbagai departemen hukum (Kepolisian, Pengadilan, Kejaksaan) dan pemerintah dalam hal ini departemen terkait (Badan Pertanahan, Badan Perizinan Satu Atap, Departemen Kehutanan, Lingkungan Hidup dan departemen terkait dimana uji tuntas itu difokuskan).
Uji tuntas dalam pendekatan Sosial juga meliputi pola perilaku masyarakat yang lebih dikonkritkan pada aspek lembaga adat, lembaga kekerabatan, pola kerjasama tertentu.
Dilihat dari pendekatan sistem lebih jauh lagi bahwa Uji Tuntas tidak saja mencakup aspek Hukum, Sosial, Ekonomi, melainkan pula pada aspek tradisi. Aspek Tradisi dimaksudkan sebagai kebiasaan pola kekerabatan yang melibatkan keadaan sosial dimana objek uji tuntas itu dilaksanakan. Satu hal yang sangat penting dalam uji tuntas adalah bahwa Fokus dilaksanakan uji tuntas tersebut. Fokus lebih jauh lagi dimaksudkan untuk mencari tujuan utama dilakukannya uji tuntas.
Uji tuntas biasanya sangat sering dilakukan dalam bidang Investasi. Tentu saja Fokusnya adalah pada penanaman Modal baik dalam negeri maupun asing. Uji tuntas sebenarnya juga penting tidak saja berupa investasi melainkan juga dari pihak Penjual dalam hal ini yang hendak melepaskan investasinya. Uji tuntas, dilihat dari segi pembeli tentu saja hendak menjamin investasinya dari kemungkinan akan konflik, persoalan lebih lanjut demi tercapainya investasi jangka panjang. Namun tidak kalah penting adalah uji tuntas dari segi Penjual. Biasanya uji tuntas ini dimaksudkan untuk menilai jumlah likuiditas atau asset yang bersangkutan. Biasanya penjual dalam hal ini kurang memahami berapa besar aktifitas investasinya sendiri sehingga dia ragu menilai harga ataupun realitas usahanya.
Dari beberapa kali pelaksanaan Uji Tuntas yang dilakukan yang melibatkan pembelian perusahaan dan atau asset perusahaan. Uji tuntas yang paling dominan bagi perusahaan asing (Foreign Direct Investment) adalah uji tuntas yang sangat detail dan fokus. Umumnya dilaksanakanya uji tuntas ini terlebih dahulu dengan menilai kinerja dokumen yang ada hingga pada keberadaan asset yang menyeluruh sampai pada pola kekerabatan masyarakat sebagai pedoman di masyarakat.
Dalam uji tuntas yang dilakukan oleh investasi dalam negeri (Domestic Direct Investment) sering meliputi penilaian asset yang hendak dijual hingga pada portfolio likuiditas asset. Tidak jarang uji tuntas yang dilakukan sebatas uji tuntas hukum (legal due diligent) yang merupakan penjamin dari kepastian hukum yang ada.
Kepastian hukum adalah merupakan suatu First Priority bagi investasi. Dengan iklim usaha di Indonesia yang dari waktu ke waktu begitu kondusif dan peranan Indonesia di Asean, maka layaklah pelaku usaha baik dalam dan luar negeri diberikan suatu kepastian hukum. Oleh karenanya Uji tuntas ini seharusnya ada dan selalu diberikan sebagai bentuk pelayanan bagi kepastian hukum yang bisa saja dilekatkan dalam departemen yang langsung terkait pada investasi misalnya Investment Board. Bukankah selain promosi yang baik dengan menampilkan keunggulan kompetitif, keunggulan demografis dan sebagainya, Kita bisa juga menampilkan keunggulan Kepastian Hukum.
Departemen yang sangat terkait bagi penanaman modal dalam negeri dan asing adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Tentu saja struktur BKPM dengan segala sumber daya yang dimiliki dituntut dapat memberikan pelayanan informatif baik segi keunggulan maupun kepastian hukum melalui penyajian Uji tuntas bidang tertentu. Mungkin saja hal ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Bukankah investasi yang baik adalah investasi di sektor riel yang memerlukan support dari pemerintah. Semoga sekelumit pemikiran ini bermanfaat bagi terciptanya kepastian hukum berinvestasi di Indonesia yang sama sama kita cintai. Maju Indonesia!!.
(Penulis adalah Lawyer/Partner pada Chow & Associates Law Firm)










2 komentar:

  1. Mantap postingan nya gan..kalau rakyat hanya dijajah.. oleh investor yang dah sangat kaya.. dan kita hanya bisa .. diam kalah hukum.. dari orang yang berduit..sementara rumah tempat tinggal kita pun .bisa digusur seenaknya.. oleh mereka . Dimana..keadilan indonesia.. pemimpin .. hanya silau oleh iming2..investor..setelah merrka kaya.. pulang ke kampung mereka.. para cs..yang konon para pejabat pun pasti akan di tendang.. karna misi mereka cuma manfaatin doang..

    BalasHapus
  2. Mantap postingan nya gan..kalau rakyat hanya dijajah.. oleh investor yang dah sangat kaya.. dan kita hanya bisa .. diam kalah hukum.. dari orang yang berduit..sementara rumah tempat tinggal kita pun .bisa digusur seenaknya.. oleh mereka . Dimana..keadilan indonesia.. pemimpin .. hanya silau oleh iming2..investor..setelah merrka kaya.. pulang ke kampung mereka.. para cs..yang konon para pejabat pun pasti akan di tendang.. karna misi mereka cuma manfaatin doang..

    BalasHapus