Kamis, 19 Januari 2012

Bacaan Minggu ini dari berbagai sumber tulisan; Moralitas,Perempuan dari kaidah Gender.

Pengembangan Kuliah Gender Universita Udayana Denpasar 
Sudarwati, lecturer at the Faculty of Letters, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
D. Jupriono, lecturer at the Faculty of Letters, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya




Moralitas dan Perempuan .
Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan prosessosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang memiliki nilai implisit karena banyak orang yang memiliki moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus memiliki moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga sebaliknya.Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Setiap budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama, moral juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat, dll.
Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk, istilah MORALITAS kita kenal secara umum sebagai suatu sistem peraturan-peraturan perilaku sosial, etika hubungan antar-orang baik dan buruk, benar dan salah.
Definisi-definisi
Berikut ini adalah kutipan dari Urantia Book tentang moralitas dan etika :[1]
Moralitas adalah kesadaran akan loyalitas pada tugas-tanggungjawab (942:1).
Moralitas berasal dari dalam kepribadian manusia itu sendiri. Binatang tidak memiliki moralitas karena tidak memiliki kepribadian.
Moralitas tidak bisa dijelaskan dengan akal, karena itu berasal dari kepribadian manusia (192:8).
Manusia sebagai makhluk moral tidak dapat dipahami kecuali terlebih dahulu mengenali realitas Bapa Semesta, Sumber dari Kepribadian (53:1).
Moralitas manusia berasal dari kehidupan keluarga (942:1). Jadi keluarga yang baik akan menghasilkan pribadi yang memiliki moralitas yang baik pula. Keluarga adalah tempat mendidik moralitas. Sangat disayangkan pada masa modern saat ini banyak keluarga yang berantakan nilai-nilainya.
Moralitas sosial itu evolusioner, berkembang menurut waktu (68:4)
Moralitas -- meliputi nilai-nilai moral alam semesta -- dapat dirasakan oleh pikiran manusia dalam bentuk tiga dorongan dasar, tiga pilihan dasar (2094:11):
1. dorongan tentang diri sendiri -- pilihan moral, personal morality berpengaruh pada perkembangan spiritual dari manusia itu.
2. dorongan tentang masyarakat -- pilihan etik, berubah terus sesuai perubahan kesadaran sosial.
3. dorongan tentang Allah -- pilihan relijius.
Moralitas Pribadi dan Moralitas Sosial
Jadi ada dua hal di sini :
1. Moralitas sosial akan terus berubah sesuai perubahan evolusi masyarakat dan peradaban, Contoh : adat makan dan minum akan berubah sesuai perkembangan masyarakat.
2. Moralitas pribadi itu primordial dan merupakan realitas alam semesta, melekat pada kepribadian. Moralitas pribadi itu ada dari semula, pada semua pribadi, tidak dihasilkan dari evolusi.
Moralitas pribadi adalah salah satu ciri khas kepribadian yang tulen dan dasar. UB mengatakan ketika berbicara tentang kepribadian (personality) : ".. It is characterized by morality--awareness of relativity of relationship with other persons. It discerns conduct levels and choosingly discriminates between them." (1225:11). Itu adalah salah satu definisi moralitas yang lain.
Secara intuitif akal-pikiran kita mengenali adanya tanggung-jawab moral (192:6).




Agama dan Moralitas
Moralitas dan agama tidak harus sama (1780:6). Perasaan pribadi akan moralitas, tidak selalu relijius. Ada perasaan tanggung jawab yang bukan spiritual. Namun demikian moralitas ini berkaitan erat dengan agama. Yesus berkata bahwa moralitas ajarannya tidak terpisahkan dari agama kehidupannya. Dia mengajarkan tentang moralitas bukan dari sifat manusia, tetapi dari hubungan manusia pada Allah (1585:6)
Moralitas orang akan dikenali melalui tindakannya.
Perhatikan bahwa UB mementingkan moralitas pribadi yang tertinggi, yaitu memilih untuk melakukan kehendak Allah.
"Tindakan moral adalah perbuatan manusia yang dicirikan oleh kecerdasan tertinggi, diarahkan oleh pilihan akhir dan juga cara mencapainya. Perbuatan semacam itu baik. Maka kebajikan tertinggi, adalah dengan sepenuh hati memilih untuk melakukan kehendak Allah." (193:9)
"Pilihan moral tertinggi adalah pilihan nilai tertinggi yang mungkin, dan selalu--dalam semua dunia, dalam semuanya-- ini adalah memilih untuk melakukan kehendak Allah. Jika manusia memilih demikian, agunglah dia, meskipun dia adalah warga terendah Yerusem (ibukota sistem kita) atau manusia terkecil di Urantia (Bumi)." (435:7)
Moralitas internal adalah inti dari pengembangan spiritual dari kepribadian dalam kehidupan sehari-hari.
Moralitas sosial, dimulai dan dididik melalui keluarga (942:1). Celakanya, kehidupan keluarga sekarang ini banyak yang dalam krisis. Jika ini dibiarkan, kita menghadapi bahaya kehancuran moralitas.
Celakanya lagi, sekarang ini banyak orang sering menganggap uang sebagai dasar dari moralitas sosial. Segala sesuatu diukur dengan uang.
Oleh sebab itu, para administrator Bumi dalam UB juga mengungkapkan adanya potensi bahaya kerusakan moralitas ini. Bagaimanapun, semuanya bergantung kembali pada moralitas pribadi. Hanya hukum moral di dalam manusia dapat menjadi basis untuk pilihan moral antara baik dan buruk, pilihan yang mungkin bertentangan dengan berbagai kebiasaan yang dianut dunia ini sekarang.
Namun demikian para penulis UB menyadari bahwa manusia hidup dalam perjuangan antara sifat rohaniah dari Roh yang didalam, melawan sifat jasmaniah manusia. Kita hidup ditengah konflik antara kehendak Roh melawan keterbatasan sifat manusia kita. Roh Pilot (Adjuster) kita mengalami berbagai kesulitan dalam upaya membuat kita lebih bermoral dan spiritual

Peredaran pornografi dalam berbagai bentuk dan media, pemalsuan, KKN, dan berbagai kejahatan moral yang merajalela di dunia sekarang ini tidak akan bisa diberantas dengan hukum dan kekerasan. Sebaliknya, lambat laun peraturan tertulis itu yang akan terpengaruh dan berubah. Tanpa kembali pada moralitas, masyarakat akan makin bobrok dan hancur, seperti hancurnya Kekaisaran Romawi yang megah itu oleh kerusakan moralitas mereka. Kita harus kembali pada moralitas pribadi dan mengajarkan semua orang untuk bertindak sesuai moralitas yang baik. Jika (sebagian atau semua) orang bermoral baik, mau mengikuti kehendak Allah yang baik itu, dan berpegang teguh pada nilai-nilai moral itu, maka dunia pasti akan berubah. UB meletakkan banyak landasan ajaran yang kuat untuk itu, sekali lagi itu adalah tugas kita sebagai manusia, sebab kita yang melaksanakannya dalam kehidupan.
Makna Moralitas dan lima ciri standar Moral;
Moralititas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenan dengan baik dan buruk (Bartens, 2002 ; 7)[2] Moralitas juga berperan sebagai pengatur atau petunjuk bagi manusia dalam berperilaku agar dapat dikategorikan sebagai manusia yang baik dan dapat menghindari perilaku yang buruk (Keraf,1993 :20)[3] dengan demikian manusia dapat dikatakan tidak bermoral jika ia berperilaku tidak sesuai dengan moralitas yang berlaku.
Ciri Standar Moral;[4]
1.Standar moral berkaitan dengan persoalan yang dianggap akan merugikan secara serius atau benar-benar menguntungkan manusia .Contoh standar moral yang dapat diterima oleh banyak orang adalah perlawanan terhadap pencurian, pemerkosaan, perbudakan, pembunuhan dan pelanggaran hukum.
2.Standar moral ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif tertentu, meskipun demikian, validitas standar moral terletak pada kecukupan nalar yang digunakan untuk mendukung dan membenarkannya.
3.Standar moral harus lebih diutamakan daripada nilai lain termasuk kepentingan diri, contoh pengutamaan standar moral adalah ketika lebih memilih menolong orang yang jatuh di jalan, ketimbang ingin cepat sampai tempat tujuan tanpa menolong orang orang tersebut.
4.Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak. Denagn kata lain pertimbangan yang dilakukan bukan berdasarkan keuntungan atau kerugian  pihak tertentu melainkan memandang   bahwa setiap masing- masing pihak memiliki nilai yang sama.
5.Standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu, Emosi yang mengasumsikan adanya standar moral adalah perasaan bersalah, sedangkan kosa kata atau ungkapan yang mempresentasikan adanya standar moral yaitu “ ini salah saya”, ” saya menyesal”, dan sejenisnya.
Orang dapat dikatakan tidak bermoral apabila tingkah lakunya berlawanan dengan moralitas yang berlaku dalam masyarakat, Untuk menghindari cap buruk sebagai orang yang tidak bermoral maka sebagai manusia kita harus memahami moralitas yang terdapat dalam masyarakat, dengan memahami konsep moralitas orang juga akan mudah membaur dengan masyarakat dan menerima respon positif atas tingkah laku baik.
Moralitas menuruf Filsafat Barat
1. HEDONISME
Yunani: “hedone” berarti nikmat/kenikmatan, menurut kodratnya manusia mengusahakan kenikmatan, Aspek negatif: manusia menghindari apa yang dapat menimbulkan rasa sakit 
Aspek positif: manusia akan mengejar apa yang dapat mencapai rasa nikmat
secara kodrat manusia mencari kesenangan dan berupaya menghindari ketidak senangan.
Dalam argumentasi hedonisme terdapat loncatan yang tidak dipertanggungjawabkan. Dari anggapan bahwa kodrat manusia mencari kesenangan sampai pada menyetarafkan kesenangan dengan moralitas yang baik. Jika manusia cenderung kepada kesenangan, apa yang menjamin bahwa kecenderungan itu baik? Ada yang memperoleh kesenangan dengan menyiksa atau membunuh orang lain. Para hedonis memiliki konsepsi yang salah tentang kesenangan. Mereka berpikir bahwa sesuatu adalah baik karena disenangi. Akan tetapi kesenangan tidak merupakan suatu perasaan yang subyektif  belaka tanpa acuan obyektif  apapun. Kesenangan adalah pantulan subyektif dari sesuatu yang obyektif. Sesuatu tidak menjadi baik karena disenangi, tapi sebaliknya kita merasa senang karena memperoleh sesuatu yang baik. Kita menilai sesuatu sebagai baik karena kebaikannya yang intrinsik, bukan karena kita menganggap hal itu baik. Hedonisme mengandung suatu egoisme, karena hanya memperhatikan kepentingan dirinya. Egoisme etis: saya tidak mempunyai kewajiban moral membuat sesuatu yang lain daripada yang terbaik bagi diri saya sendiri.
2. EUDEMONISME
Yunani:” eudaimonia”  berarti mempunyai roh pengawal (demon) yang baik, mujur dan beruntung. Eudemonia lebih dititikberatkan pada pengertian suasana batiniah yang berarti “bahagia”, sehingga lebih tepat diartikan sebagai “kebahagiaan”. Hakekatnya kodrat manusia adalah mengusahakan kebahagiaan. Menurut Aristoteles, kebahagiaan seperti kekayaan, uang atau sejenisnya bukanlah tujuan akhir, tapi dianggap untuk mencapai tujuan yang lain. Manusia yang menjalankan fungsinya sebagai manusia dengan baik, ia akan mencapai tujuan terakhirnya atau kebahagiaan. Fungsi yang khas bagi manusia adalah akal budi atau rasio.  Manusia mencapai kebahagiaan dengan menjalankan secara paling baik kegiatan-kegiatan rasionalnya.
Kegiatan-kegiatan rasional harus dijalankan dengan disertai keutamaan-keutamaan. 
Ada dua macam keutamaan:
1.      Keutamaan intelektual 
Menyempurnakan langsung rasio itu sendiri
2.      Keutamaan moral 
Dengan keutamaan ini, rasio menjalankan pilihan perlu diadakan dalam kehidupan sehari-hari Rasio menentukan jalan tengah antara dua ekstrem yang berlawanan. Keutamaan adalah keseimbangan antara “kurang” dan “terlalu banyak”. Misal: kemurahan merupakan jalan tengah antara kekikiran dan pemborosan. 
Manusia baik dalam arti moral, jika selalu mengadakan pilihan-pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan-perbuatan moralnya dan mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual. Keutamaan yang disebut aristoteles bukan hasil pemikiran sendiri, tetapi mencerminkan pandangan etis dari masyarakat Yunani pada waktu itu, diwarnai suasana eliter karena terutama mencerminkan golongan atas dalam masyarakat Yunani
Belum melihat paham tentang hak asasi, diman dibenarkan secara rasional lembaga perbudakan, karena ia berpendapat bahwa beberapa manusia menurut kodratnya adalah budak.   Etika Aristoteles dan khususnya ajaran tentang keutamaan tidak begitu berguna untuk memecahkan dilema moral besar yang kita hadapai sekarang (nuklir, kloning, dsb.)
3. UTILITARISME
-Utilitarisme tergolong dalam dua bagian besar yaitu: klasik dan aturan 
- Utilitarisme klasik tumbuh dari tradisi pemikiran moral di Inggris, dikembangkan oleh David Hume (1711) dan dimatangkan oleh Jeremy Bentham (1748)
- Utilitarisme sebagai dasar etis untuk memperbaharui hukum Inggris (pidana).
- Tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara, bukan melaksanakan perintah-perintah ilahi atau melindungi yang disebut hak-hak kodrati
- Bentham mengusulkan suatu klasifikasi kejahatan yang didasarkan atas berat tidaknya pelanggaran dan yang terakhir ini diukur berdasarkan kesusahan atau penderitaan yang diakibatkannya terhadap para korban dan masyarakat.
Pelanggaran yang tidak merugikan orang lain menurut Bentham sebaiknya tidak dianggap sebagai tindakan kriminal 
- Menurut kodratnya manusia menghindari ketidaksenangan dan mencari kebahagiaan. Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang.
- Prinsip utilitas Bentham: kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar (the greatest happiness of the greatest number)
- Prinsip kegunaan harus diterapkan secara kuantitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama sedangkan aspek kuantitasnya dapat berbeda-beda 
- Ia mengembangkan the hedonistic calculus. Sumber-sumber kesenangan dapat diukur dan diperhitungkan menurut intensitas dan lamanya perasaan yang diambil daripadanya, perhitungan tersebut akan menghasilkan saldo positif, jika kredit (kesenangan) melebihi debetnya (ketidaksenangan).
Misal: kadar moral dari perbuatan minum minuman keras sampai mabuk. Seandainya tidak ada segi negatif maka keadaan mabuk merupakan suatu yang secara moral baik. Kemabukan harus dinilai secara moral sangat jelek karena keseluruhan saldo sangat negatif.
- Utilitarisme diperkuat oleh filsuf Inggris John Stuart Mill (1806). Ia mengkritik Bentham bahwa kesenangan dan kebahagiaan harus diukur kuantitatif, ia berpendapat bahwa kualitas perlu dipertimbangkan juga (mutu kesenangan). Kesenangan manusia harus dinilai lebih tinggi daripada kesenangan hewan.
Kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja.
- Menurut filsuf Inggris-Amerika Stephen Toulmin dkk., prinsip kegunaan tidak harus diterapkan atas salah satu perbuatan, melainkan atas aturan-aturan moral yang mengatur perbuatan-perbuatan kita. Suatu perbuatan baik secara moral, bila sesuai dengan aturan yang berfungsi dalam sistem aturan moral yang paling berguna bagi suatu masyarakat.
-Utilitarisme ini mengalami kesulitan ketika terjadi konflik antara dua aturan moral
-Keberatan terhadap hedonisme sebagian berlaku juga untuk utilitarisme
- Tidak lagi memuat egoisme etis, karena prinsip “untuk jumlah orang terbesar”. Bentham tidak dapat mempertanggunjawabkan sifat umum (keseluruhan)
-Ia bertolak dari dasar psikologis: manusia mencari kesenangan dan menghindari ketidaksenangan (individualistis)
- Prinsip kegunaan bahwa setiap perbuatan adalah baik jika menghasilkan kebahagiaan terbesar untuk jumlah orang terbesar, tidak selamanya benar.
Misal: kesenangan yang didapat dengan menyiksa seseorang yang dilakukan oleh banyak orang 
- Utilitarisme tidak ada tempat untuk paham “hak”. Padahal hak merupakan suatu kategori moral yang amat penting 

- Jika suatu masyarakat mayoritas terbesar hidup makmur dan hanya minoritas yang serba miskin, menurut aliran ini dari segi etis telah diatur dengan baik (kesenangan melebihi ketidaksenangan). Disini dapat dinilai Utilitarisme sebagai sistem moral tidak dapat menampung prinsip keadilan.
4. DEONTOLOGI
- Aliran filsafat moral yang telah diuraikan di atas, lebih berorientasi pada “hasil” perbuatan dalam mencapai tujuan. Dapat dikatakan lebih bersifat teleologis (terarah pada tujuan)
-Berasal dai Yunani “deon”: Apa yang harus dilakukan; kewajiban
-Menurut aliran ini perbuatan moral semata-mata tidak didasarkan lagi pada hasil suatu perbuatan dan tidak lagi menyoroti tujuan yang dipilih dari perbuatan itu, melainkan berdasarkan maksud dan dari wajib atau tidaknya perbuatan moral itu.
-Peletak dasar aliran ini adalah Filsuf besar dari Jerman Immanuel Kant (1724-1804). Menurutnya hanya ada satu kenyataan yang baik tanpa batas, yaitu kehendak baik. Kehendak baik yaitu kehendak yang mau melakukan apa yang menjadi kewajibannya, murni demi kewajiban itu sendiri. Perbuatan yang dilakukan dengan maksud lain, tidak dapat dikatakan baik. Perbuatan baru memasuki taraf moralitas, apabila dilakukan semata-mata karena kewajiban. Suatu perbuatan bersifat moral jika dilakukan semata-mata karena hormat untuk hukum moral.
Hakekat kebajikan menurut Kant adalah kesediaan melakukan apa yang menjadi kewajibannya. Hidup bermoral ada hubungan dengan kewajiban, terlepas apakah hal itu membahagiakan ataukah tidak Kant membedakan Imperatif Kategoris dan Imperatif Hipotetis 

-Kewajiban moral mengandung suatu imperatif kategoris, artinya imperatif (perintah) yang mewajibkan begitu saja, tanpa syarat. Imperatif katogeris ini menjiwai semua peraturan etis. Misalnya: janji harus ditepati, barang yang dipinjam harus dikembalikan
-Imperatif hipotetis selalu diikutsertakan sebuah syarat. Misal: kalau engkau ingin cepat selesai kuliah, maka harus belajar dengan tekun. Kalau tidak mempunyai tujuan (lulus) tidak wajib meneghendaki sarananya (belajar). Kewajiban hanya “hipotetis” (kalau…. Maka)

- Di bidang moral, tingkah laku manusia hanya dibimbing oleh norma yang mewajibkan begitu saja, bukan oleh pertimbangan lain. Dengan hidup menurut hukum moral, manusia tidak menyerahkan diri kepada sesuatu yang asing baginya (heteronom), melainkan mengikuti hukumnya sendiri. Otonomi kehendak pada dasarnya sama dengan kebebasan manusia, sebab kebebasan adalah kesanggupan untuk bertindak terlepas dari penguasaan oleh sebab-sebab asing. Kebebasan tidak berarti bebas dari segala ikatan melainkan manusia itu bebas dengan mentaati hukum moral.


- Sistem moral Kant merupakan suatu etika yang suram dan kaku 
- Ada kesan seolah-olah kita berkelakuan baik, hanya jika semata-mata melakukan karena kewajiban.
- Apakah tidak mungkin kita berlaku dengan baik karena kita senang berbuat baik?
- Apakah tidak mungkin kita berbuat baik karena cinta atau belas kasih
- Sulit untuk diterima bahwa konsekuensi bisa diabaikan saja dalam menilai moralitas perbuatan kita 
Misal: perbuatan berbohong untuk melindungi nyawa seseorang agar tidak dicelakai atau dibunuh. Jika jujur tentu saja kewajiban untuk tidak berbohong membawa konsekuensi seorang itu dicelakai.
Dilihat dari berbagai pandangan di atas, semua berlandaskan terhadap pemikiran akan terjadinya kebaikan, tidak peduli apakah dipandang dari sudut subyektif maupun obyektif; dari tujuan, keseimbangan, kewajiban ataupun hasil akhir, menurut pencetus paham inilah yg mendasari terjadinya suatu moral 'baik'. Ada kelemahan di setiap aliran, tapi tidak menjadi alasan bagi mereka untuk disalahkan, karena pada masa-masa tertentu paham tersebut pernah menjadi landasan moral yang dianggap benar. 
Apa Arti Wanita?
Sejarah kontemporer bahasa Indonesia, ya sekarang ini, mencatat bahwa kata wanita menduduki posisi dan konotasi terhormat. Kata ini mengalami proses ameliorasi, suatu perubahan makna yang semakin positif, arti sekarang lebih tinggi daripada arti dahulu ("Kamus Linguistik", Kridalaksana, 1993: 12).
Menurut KD (1970: 1342), kata wanita merupakan bentuk eufemistis dari perempuan. Pada halaman yang sama, dicontohkan frase wanita-wanita genit. Contoh ini paradoksal. Sebab, jika wanitaberupakan bentuk halus, mengapa ada kata genit-nya, sesuatu yang jelas tidak halus. Tetapi, ini juga menyiratkan pandangan bahwa kata itu memang khas untuk manusia (perempuan), bukan lelaki, binatang, demit, ataukah benda lain.
Kata kewanitaan, yang diturunkan dari wanita, berarti 'keputrian' atau 'sifat-sifat khas wanita'. Sebagai putri (wanita di lingkungan keraton), setiap wanita diharapkan masyarakatnya untuk meniru sikap laku, gaya tutur, para putri keraton, yang senantiasa lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, mendukung, mendampingi, mengabdi, dan menyenangkan pria. Dengan kata wanita, benar-benar dihindari nuansa 'memprotes', 'memimpin', 'menuntut', 'menyaingi', 'memberontak', 'menentang', 'melawan'. Maka, bisa dimengeri bahwa yang muncul dipilih sebagai nama organisasi wanita bergengsi nasional adalah "Darma Wanita", sebab di sinilah kaum wanita berdarma, berbakti, mengabdikan dirinya pada lembaga tempat suaminya bekerja. Maka, program kerjanya pun harus selalu mendukung tugas-tugas dan jabatan suami,1) jangan bermimpi bisa independen memang bukan itu misinya.
Dalam KBBI (1988: 1007), wanita berarti 'perempuan dewasa'. Sama seperti halnya KD, meski dengan redaksi lain, KBBI pun mendefinisikan kewanitaan (bentuk derivasinya) sebagai "yang berhubungan dengan wanita, sifat-sifat wanita, keputrian". Muatan makna aktif, menuntut hak, radikal, tak ada dalam arti kata ini.
Berdasarkan "Old Javanese English Dictionary" (Zoetmulder, 1982), kata wanita berarti 'yang diinginkan'. Arti 'yang dinginkan' dari wanita ini sangat relevan dibentangkan di sini. Maksudnya, jelas bahwa wanita adalah 'sesuatu yang diinginkan pria'. Wanita baru diperhitungkan karena (dan bila) bisa dimanfaatkan pria. Sudut pandangnya selalu sudut pandang "lawan mainnya", ya pria itu. Jadi, eksistensinya sebagai makhluk Tuhan menjadi nihil. Dengan demikian, kata ini berarti hanya menjadi objek (bagi lelaki) belaka. Adakah yang lebih rendah dari "hanya menjadi objek"?
Makna wanita sebagai 'sasaran keinginan pria' juga dipaparkan oleh Prof. Dr. Slametmuljana dalam "Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara" (1964: 59--62). Kata wanita, dalam bahasa aslinya (Sanskerta), tulisnya, bukan pemarkah (marked) jenis kelamin. Dari bahasa Sanskerta vanita, kata ini diserap oleh bahasa Jawa Kuno (Kawi) menjadi wanita, ada perubahan labialisasi dari labiodental ke labial: [v]-->[w]; dari bahasa Kawi, kata ini diserap oleh bahasa Jawa (Modern); lalu, dari bahasa Jawa, kata ini diserap ke dalam bahasa Indonesia. Setelah diadopsi bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, kata ini mengalami tambahan nilai positif.
Ada juga pandangan lain, yang cukup "menyakitkan", yakni bahwa kata wanita bukanlah produk kata asli (induk). Kata ini hanyalah merupakan hasil akhir dari proses panjang perubahan bunyi (yang dalam studi linguistik sering disebut gejala bahasa) metatesis2) dan proses perubahan kontoid3) dari kata betina. Urutan prosesnya demikian. Mula-mula kata betina menjadi batina; kata batina berubah melalui proses metatesis menjadi banita; kata banita mengalami proses perubahan bunyi konsonan (kontoid) dari [b]-->[w] sehingga menjadi wanita. Maka, memang aneh bin ajaib, bahwa kata yang demikian kita hormati, bahkan kita letakkan pada tempat tinggi di atas kata perempuan ini, maksudnya ya wanita itu, ternyata berasal dari kata rendah betina.
Mungkin karena itulah, organisasi "Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia" (Iwapi) sering dipelesetkan artinya tentu saja, oleh pria menjadi "Iwak-e Papi-papi", "Dagingnya bapak-bapak" atau "Lauknya Bapak-bapak" seakan wanita itu tak lebih dari "daging" atau "lauk-pauk" yang bisa dikonsumsi oleh pria. Dalam karier militer pun, dipakai wanita. Misalnya saja "Korps Polisi Wanita" (Polwan, 1948), "Korps Wanita Angkatan Darat" (Kowad, 1961), "Korps Wanita Angkatan Laut" (Kowal, 1962), "Korps Wanita Angkatan Udara" (Wara, 1963). Meskipun begitu, pelecehen keterlibatan dan kemampuan wanita dalam tubuh ABRI pun masih terjadi. Terang-terangan memang tidak, tetapi ada dalam bentuk ungkapan humor di masyarakat (Dananjaya, 1984), misalnya berikut ini.
Seorang komandan serdadu pada suatu front peperangan memerintahkan penarikan mundur khusus serdadu wanita. Alasannya, mereka melanggar disiplin medan. Serdadu-serdadu wanita, yang merasa tidak membuat kesalahan disiplin militer, memprotes ramai-ramai. "Kesalahan??? Kesalahan apa itu, Komandan? Ini tidak adil!" Jawab Komandan dengan kalem, "Kamu sih, setiap diberi komando  'tiaraaap ...', ee kamu malah terlentang."
Ini merupakan pantulan realitas bahwa apa pun yang dilakukan wanita tetaplah tak sanggup menghapus kekuasaan pria. Wanita berada dalam alam tanpa otonomi atas dirinya. Begitulah inferioritas wanita akan selalu menderita gagap, gagu, dan gugup di di bawah gegap gempitanya superioritas pria.
Berdasarkan etimologi rakyat Jawa (folk etimology, jarwodoso atau keratabasa, kata wanita dipersepsi secara kultural sebagai 'wani ditoto'; terjemahan leksikalnya 'berani diatur'; terjemahan kontekstualnya 'bersedia diatur'; terjemahan gampangnya 'tunduklah pada suami' atau 'jangan melawan pria'. Dalam hal ini wanita dianggap mulia bila tunduk dan patuh pada pria. Sering ada ungkapan "pejang gesang kula ndherek" (hidup atau mati, aku akan ikut suami), "swargo nunut, neraka katut" (suami masuk surga aku numpang, suami masuk neraka aku terbawa). Ternyata anggapan Jawa ini merasuk kuat dalam bahasa Indonesia. Kesetiaan wanita dinilai tinggi, dan soal kemandirian wanita tidak ada dalam kamus. Karenanya, dalam bahasa Indonesia kata wanita bernilai lebih tinggi sebab, kata Ben Anderson (1966), bahasa Indonesia mengalami "jawanisasi" atau "kramanisasi": kulitnya saja bahasa Melayu yang egaliter, tetapi rohnya bahasa Jawa yang feodal itu.
Dalam persepsi kultural Jawa pulalah, kata wanita menemukan perendahan martabat ketika ia "dipakai" salah satu barang klangenan (barang-barang untuk pemuasaan kesenangan individu). Jargon lengkap populernya adalah harta, senjata, tahta, wanita. Lelaki Jawa, menurut persepsi Jawa ini, baru benar-benar mampu menjadi lelaki sejati, lelananging jagat, bila telah memiliki kekayaan berlimpah (harta), melengkapi diri dengan kesaktian dan senjata (senjata), agar dapat memasuki kelas sosial yang lebih tinggi, priyayi (tahta), dan semuanya baru lengkap bila sudah memiliki banyak wanita, entah sebagai istri sah entah sekadar selir atau gundik4). Di sini tampak benar bahwa manusia wanita disederajatkan dengan benda-benda mati semacam degradasi harkat martabat salah satu gender5), sekaligus dehumanisasi.
Dengan demikian, untuk sementara bisa segera ditarik kata simpul: wanita berarti 'manusia yang bersikap halus, mengabdi setia pada tugas-tugas suami'. Suka atau tidak, inilah tugas dan lelakon yang harus dijalankan wanita. Apakah memang demikian?
Apa Arti Perempuan?
Dalam pandangan masyarakat Indonesia, kata perempuan mengalami degradasi semantis, atau peyorasi, penurunan nilai makna; arti sekarang lebih rendah dari arti dahulu (Kridalaksana, 1993).
Di pasar pemakaian, terutama di tubuh birokrasi dan kalangan atas, nasib perempuan terpuruk di bawah kata wanita, sehingga yang muncul adalah Menteri Peranan Wanita, pengusaha wanita (wanita pengusaha), insinyur wanita, peranan wanita dalam pembangunan, dan pastilah bukan *Menteri Peranan Perempuan, *pengusaha perempuan (*perempuan pengusaha), *insinyur perempuan, *peranan perempuan dalam pembangunan.
Dalam KD (1970: 853), kata perempuan berarti 'wanita', 'lawan lelaki', dan 'istri' . Menurut KD, ada kata raja perempuan yang berarti 'permaisuri'. Dengan contoh ini kata ini tidak berarti rendah. Sementara itu, kata keperempuanan berarti 'perihal perempuan', maksudnya pastilah masalah yang berkenaan dengan keistrian dan rumah tangga. Dalam hal ini, meski tidak terlalu rendah, tetapi jelas bahwa kata ini menunjuk perempuan sebagai 'penunggu rumah'.
KBBI (1988: 670) memberikan batasan yang hampir sama dengan KD, hanya ada tambahan sedikit, tetapi justru penting, untuk kata keperempuanan. Menurut KBBI, keperempuanan juga berarti 'kehormatan sebagai perempuan'. Di sini sudah mulai muncul kesadaran menjaga harkat dan martabat sebagai manusia bergender feminin. Tersirat juga di sini makna 'kami jangan diremehkan' atau 'kami punya harga diri'.
Dalam tinjauan etimologisnya, kata perempuan bernilai cukup tinggi, tidak di bawah, tetapi sejajar, bahkan lebih tinggi daripada kata lelaki. Ah, masa?!! Ya. Jelasnya begini.
  • Secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti 'tuan', 'orang yang mahir/berkuasa', atau pun 'kepala', 'hulu', atau 'yang paling besar'; maka, kita kenal kata empu jari 'ibu jari',empu gending 'orang yang mahir mencipta tembang'.
  • Kata perempuan juga berhubungan dengan kata ampu 'sokong', 'memerintah', 'penyangga', 'penjaga keselamatan', bahkan 'wali'; kata mengampu artinya 'menahan agar tak jatuh' atau 'menyokong agar tidak runtuh'; kata mengampukan berarti 'memerintah (negeri)'; ada lagi pengampu 'penahan, penyangga, penyelamat', sehingga ada kata pengampu susu 'kutang' alias 'BH'.
  • Kata perempuan juga berakar erat dari kata empuan; kata ini mengalami pemendekan menjadi puan yang artinya 'sapaan hormat pada perempuan', sebagai pasangan kata tuan 'sapaan hormat pada lelaki'.
Prof. Slametmuljana (1964: 61) pun mengakui bahwa kata yang sekarang sering direndahkan, ditempatkan di bawah wanita, ini berhubungan dengan makna 'kehormatan' atau 'orang terhormat'. Tetapi, yang dilihatnya di masyarakat lain lagi. Maka, ia pun tidak mampu menyembunyikan keheranannya berikut:
"... Yang agak aneh dalam tjara berpikir ini ialah apa sebab perempuan tempat kehormatan itu semata-mata diperuntukkan bagi wanita, sedangkan hormat dan bakti setinggi-tingginya menurut adat ketimuran djustru datang dari kaum wanita, terhadap suami."
Itulah sebabnya, tidak sedikit aktivis gerakan perempuan baik yang di bawah payung lembaga pendidikan formal maupun yang lebih suka malang melintang di alam bebas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lebih suka memilih kata perempuan daripada wanita untuk organisasi mereka. Misalnya Solidaritas Perempuan (Jakarta), Yayasan Perempuan Merdika (Jakarta), Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK, Jakarta), Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA, Yogyakarta), Sekretariat Bersama Perempuan Yogya (Yogyakarta), Forum Diskusi Perempuan Yogya, Suara Hati Perempuan, Kelompok Perempuan untuk Kebebasan Pers (KPKP), dan Gerakan Kesadaran Perempuan--sekadar menyebut beberapa contoh. Menarik untuk dicontohkan di sini bahwa nama jurnal keperempuanan terbitan LIPI adalah "Warta Studi Perempuan" dan bukan *Warta Studi Wanita. Sementara itu, jika dahulu "Women Study" diterjemahkan menjadi "Kajian Wanita", sekarang muncul saingan baru, "Studi Perempuan".
Dari sudut sejarah pergerakan nasional pun, kata perempuanlah yang telah menyumbangkan kontribusi historisnya. Kita ingat, kongres pertama organisasi "lawan tanding lelaki" ini dinamainya "Kongres Perempoean Indonesia Pertama, yang berlangsung pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta (Rahayu, 1996).6) Dalam Kongres I ini disepakati bahwa persamaan derajat hanya dapat dicapai bila susunan masyarakatnya tidak terjajah. Langkah organisasi pertama yang dilakukan adalah membentuk "Perserikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia" (PPPI). Bahwa dalam perjalanan sejarah lahir Kowani, Perwari, Perwani, KNKWI, BMOIWI, Ikwandep perhatikan, selalu ada huruf /W/ setidaknya itulah jejak-jejak historis lingual bahwa kita lebih memilih "wanita", dan bukan "perempuan", sebab yang kita kehendaki bukan perempuan mandiri, melainkan perempuan penurut. (Silahkan pembaca menjawab sendiri, apakah setelah lebih dari setengah abad kemerdekaan ini kaum perempuan telah mencapai persamaan derajat, seperti impian Kongres I).
Sejak kemerdekaan, seperti disebut di atas, derap Kongres Perempoewan Indonesia sudah (di)musnah(kan) dari peredaran. Muncul pengganti-penerusnya: Kongres Wanita Indonesia (Kowani) sejak menjelang kemerdekaan, yang relatif lunak, umumnya terdiri atas para istri pegawai. Mungkin sejak inilah wanita secara resmi menggeser perempuan. Sejak saat itu setiap partai-partai politik di Indonesia juga mempunyai anak organisasi wanita, bukan perempuan, misalnya Wanita Demokrat dan Gerakan Wanita Marhaen (PNI), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani, PKI), dan pasca-1965 ada Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari), serta Dharma (1974) (Rahayu, 1996: 30-31).
Perempuan Disembah-sembah, Itu Dulu ...
Dahulu sesuatu yang bersifat perempuan dihormati, dijunjung tinggi. Dalam hal ini kita tak lagi mempersoalkan perbedaan istilah wanita, perempuan, betina, atau pun ibu, bunda, mbaktu, biyung, mama, dewi, putri, ratu. Kita bicarakan hal itu secara global saja. Dahulu kaum ibu dikatakan sebagai "tiang masyarakat", diluhurkan sebagai "ratu kehidupan", dan dimitoskan sebagai "danyang kesuburan alam semesta", serta disembah-sembah  sebagai "penentu awal kehidupan manusia di bumi".
Zaman sekarang kaum ibu selalu dituding sebagai sumber kesalahan, terutama berhubungan dengan kenakalan anak-anak. Bukankah mendidikan anak itu tugas seorang ibu, bukan bapak? Karena perempuan mengalami domestifikasi peran, bila terjadi kericuhan keluarga, ibulah yang layak dikorbankan sebagai kambing hitam. "Ini gara-gara terlalu kau manja," atau juga "coba, kalau kamu mendidiknya benar, anak kita tidak binal seperti ini," begitu kata ayah. Dahulu, nasib ibu tidak seburuk ini, tidak dituding sebagai biang kerok perkara. Dia sangat dibela, dibersihkan dari tuduhan. Posisinya sebagai peletak awal kehidupan manusia sangat menentukan, karena dari guwagarba rahimnyalah, manusia di bumi ini berasal. Oleh karena itu, jika ada anak yang nakal, ibu akan dibela, sehingga ungkapan yang muncul adalah "Bukan salah bunda mengandung" dan bukan ungkapan "*Bukan salah ayahnda menghamili" atau "*Bukan salah ayahnda membuahi". Ini bukti pengakuan bahwa mengandung itu lebih bernilai tinggi daripada menghamili (Kweldju, 1991). Karena yang mengandung itu biasanya ibu, ibulah yang lebih diharga.
Pelesetan-pelesetan di masyarakat terhadap kata-kata tertentu juga menggambarkan seberapa jauh nilai dominasi pria terhadap wanita ini hendak menandingi pemahaman masyarakat terhadap hakikat suatu kata. Semula, berdasarkan etimologi rakyat (jarwodosok, keratabasa) Jawa, kata "garwo", misalnya, dipersepsi sebagai "sigaraning nyowo" (belahan jiwa). Di sini, kedudukan seorang istri cukup terhormat, sejajar, sama, segaris, dan komplementer dengan suami; tidak ada nuansa dominasi dan subordinasi antargender. Memang, garwo adalah kata yang netral, egaliter, tidak memihak salah satu jenis kelamin (bias gender). Ia bisa mengacu baik kepada "garwo jaler" (suami) maupun "garwo estri" (istri). Akan tetapi, selanjutnya inilah kurang ajarnya pemahaman terhadap kata garwo telah dipelesetkan sebagai "sigar tur dowo" (terbelah dan lagi panjang), sesuatu yang bisa mengundang kesan porno dan pelecehan. Tidak sulit ditebak siapa pelaku pemelesetan ini: pastilah dari barisan pria.
Tidak hanya persepsi kultural masyarakat, agama pun meletakkan ibu pada posisi sangat terhormat. Dalam Islam, misalnya, ada hadis yang sangat terkenal berkenaan dengan ini, yakni "Surga itu di bawah telapak kaki ibu". Maka, menurut pandangan ini, tempat berbakti adalah ibu, ibu, dan ibu, kemudian baru ayah. Mungkin karena kecemburuan religiusitas-gender, di masyarakat kami pernah mendengar pelesetan sinis terhadap ini tentu saja dari kaum bapak.7) Surah paling Al-Fatihah, saripati dari semua surah dalam Kitab Suci Quran, misalnya, disebut "Ummul Qur'an" dan bukan "Abul Qur'an" (Nadjib, 1996). Dalam agama lain pun kurang lebih sama. Begitulah ...
Perempuan Indonesia, Akan ke Manakah Anda?
Di sini jelas sekali bahwa jika yang kita maksudkan adalah sosok yang mengalah, rela menderita demi pria pujaan, patuh berbakti, maka pilihlah kata wanita. Maka, yang tepat tetaplah "Darma Wanita" memang dimaksudkan untuk berbakti. Tetapi, jika kita berbicara soal peranan dan fungsinya, soal pemberdayaan kedudukan, soal pembelaan hak asasi, soal nasib dan martabatnya, tidak ada jalan lain, gunakan kata perempuan, semisal "peranan perempuan dalam perjuangan", "gerakan pembelaan hak-hak perempuan pekerja". Setuju?
Bisa dipastikan siapa pun akan ragu, jika hati harus lebih berpihak pada perempuan daripada pada wanita. Justru, itulah bukti hebatnya hegemoni patriarki dalam masyarakat mana pun, sehingga jangankan yang menguasai, yakni pria, yang dikuasai pun, yaitu wanita, merasa takut, khawatir, bahkan merasa menikmati "penguasaan" itu. Bagi kelompok terakhir ini, hegemoni kekuasaan pria akan dinikmatinya sebagai "perlindungan" dan "kasih sayang". Ditindas kok tidak melawan. Mengapa? Sulit menjawabnya. Mungkin kaum wanita tergolong makhluk ajaib, yang suka menyiksa diri, menyimpan samudra kesabaran luar biasa, suka berkorban, memang karena tak berdaya, atau jangan-jangan mereka berjiwa masokistis, suatu jenis kenikmatan dalam penindasan. Jiwa mereka berada dalam situasi terpenjara (captive mind). Akhirnya, Perempuan Indonesia, terserah saja, Anda mau ke mana ...?
Catatan
  1. Orde Baru merumuskan peran kaum wanita ke dalam lima kewajiban (Pancadarma): (1) wanita sebagai istri pendamping suami, (2) wanita sebagai ibu pendidik dan pembina generasi muda, (3) wanita sebagai pengatur ekonomi rumah tangga, (4) wanita sebagai pencari nafkah tambahan, dan (5) wanita sebagai anggota masyarakat, terutama organisasi wanita, badan-badan sosial, dan sebagainya yang menyumbangkan tenaga kepada masyarakat. Perhatikan, di sini yang dinomorsatukan adalah kewajiban istri sebagai istri mendampingi sang suami tercinta. Sementara, urusan bergerak di sektor publik (di luar rumah) menduduki nomor bungsu, artinya tidak dipentingkan. Ini terjadi sebab ada anggapan bahwa di luar rumah itu urusan lelaki, sedang di dalam rumah (sektor domestik) inilah tempat tepat wanita. Periksa: Binny Buchori & Ifa Soenarto, "Mengenal Dharma Wanita". Mayling Oey-Gardiner dkk. (ed.), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini (Jakarta: PT Gramedia, 1996) hal. 172-193); juga: Ruth I. Rahayu, "Politik Gender Orde Baru: Tinjauan Organisasi Perempuan Sejak 1980-an. Prisma XXV/5, Mei 1996: 29-42.
  2. Metatesis adalah gejala perubahan (pertukararn) letak huruf, bunyi, atau sukukata dalam suatu kata (Kridalaksana, 1993:136). Misalnya rontal menjadi lontar, sapu<-->usap; dalam bahasa Jawa misalnya kelek<-->lekek 'ketiak'. Dalam bahasa Inggris ada flim<-->film, brid<-->bird (Jack Richards, John Platt, dan Heidi Weber, 1987: 176), aks<-->ask (Crystal, 1985: 194).
  3. Proses perubahan bunyi konsonan (kontoid) dalam bahasa-bahasa di Nusantara dirumuskan dalam hukum-hukum perubahan bunyi. Salah satunya adalah perubahan [w] dalam bahasa Jawa atau Jawa Kuno menjadi [b] dalam bahasa Melayu (Indonesia) (Slametmulyana, 1964; Wojowasito, 1965; Keraf, 1987). Misalnya awu-->abu, watuk-->batuk, sewelas-->sebelas, wulan-->bulan.
  4. Raja, sultan, adipati, bangsawan, pada zaman dahulu umumnya memiliki banyak istri dan selir. Misalnya, Paku Buana IV (Surakarta) mengumpuli 25 istri dan selir; Hamengku Buwono II (Ngayogyakarta Hadiningrat) menyimpan 33 istri dan selir. Tujuan memiliki banyak wanita adalah menghindari kejahatan seksual dan mencapai konsolidasi kekuasaan politik untuk mengesankan bahwa pemimpin itu lelaki luar biasa sakti mandraguna (super human). Periksa: G. Moedjanto, "Selir", Basis, Januari 1973; juga Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram (Yogyakarta: Kanisius, 1987).
  5. Tentang konsep degradasi harkat martabat gender feminin, baca: D. Jupriono, "Bahasa Indonesia Bahasa Lelaki", FSU in the Limelight edisi nomor ini juga.
  6. Lih. Ruth Indiah Rahayu, Opcit., hal. 29-42. Dalam artikelnya, dijelaskan bahwa perempuan dan gerakannya telah lahir jauh sebelum kemerdekaan RI. Aktivitas pergerakan perempuan terus berjalan hingga mencapai puncaknya pada 1965. Sejak itu berlakulah proses domestifikasi (pe-rumah-an) "perempuan" di segala bidang, menjadi "wanita". Tetapi, bersamaan dengan itu, bermunculan juga berbagai organisasi "keras" perempuan bergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
  7. Pelesetan itu demikian. "Surga ada di bawah kaki ibu", katanya, "berlaku bagi seorang anak". Bagi seorang ayah, lain lagi, yaitu "Surga itu ada di antara kedua kaki ibu"; "Ooo ... itu sih nerakanya. Setannya ya kita-kita ini. Ha ha ha ...". Bahwa itu hanya kelakar, itu jelas. Tetapi, di sisi lain, ini mungkin saja juga karena tidak tahu (menyadari) bahwa yang mereka pelesetkan adalah sabda Rasul.
Daftar Pustaka
Buchori, B. & I. Soenarto. 1996. Mengenal Dharma Wanita. Hal. 172-193. Mayling Oey-Gardiner dkk. (ed.), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia.
Hurford, J.R. 1984. Semantics: a Coursebook. Cambridge: Cambridge Univ. Press.
Iskandar, T. 1970. Kamus Dewan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran.
Kweldju, S. 1983. Penelitian seksisme bahasa dalam kerangka penelitian stereotipi seks. Warta Studi Perempuan 4(1), 7-18.
Mardiwarsito, L. 1986. Kamus Jawa Kuno-Indonesia. Cet. III. Ende: Nusa Indah.
Nadjib, E.A. 1966. Ibu Qur'an, bukan Bapak Qur'an. Padang Mbulan, 2, April: 29-38.
Noerhadi, T. 1991. Studi Wanita di Indonesia. Makalah Seminar Nasional Wanita 11--13 Juni 1991, di Wisma Kinasih, Bogor.
Palmer, F.R. 1986. Semantics. Edisi II, Cet. V. Cambridge: Cambridge University Press.
Rahayu, R.I. 1996. Politik gender Orde Baru: tinjauan organisasi perempuan sejak 1980-an. Prisma 15(5), Mei: 29-42.
Richards, J., J. Platt, dan H. Weber. 1987. Longman Dictionary of Applied Linguistics. Cet. II. Harlow: Longman Group UK Limited.
Slametmuljana. 1964. Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Suryochondro, S. 1996. Perkembangan gerakan wanita di Indonesia. Hal. 290-310. Oey-Gardiner dkk. (ed.), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi I. Jakarta: Balai Pustaka dan Depdikbud.
Wojowasito, S. 1965. Linguistik: Sedjarah Ilmu (Perbandingan) Bahasa. Djakarta: Gunung Agung.
Zoetmulder, P.J. 1982. Old Javanese--English Dictionary. 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff.


[1] "Morality as a category of Universe Reality", disampaikan pada IUA Conference, Aug 4-7, 2000, Wagner College, New York.

[2] Bertens,Kees.”Etika”, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002 ,hal-7.
[3] Keraf Sonny,”Etika Bisnis”’Penerbit Kanisius,Yogyakarta, 1993, hal- 20.
[4] Velazquez,Manuel G. “Etika Bisnis,Konsep dan Kasus”Penerbit Kanisius, Yogyakarka, 2005. Hal 9 – 10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar