Jumat, 27 Januari 2012

KARAKTERISTIK KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM DAN PSIKOLOGI HUKUM
Bahan Kajian , pengembangan, dan perbandingan
Dalam mempelajari sosiologi hukum dan psikologi hukum 
0leh : Musakkir

Pendekatan sosiologi hukum terhadap putusan hakim akan bermuara pada putusan hakim yang telah memenuhi rasa keadilan warga masyarakat, dapat memulihkan hubungan sosial antara pihak yang bersengketa dan dapat memberi kemanfaatan. Selanjutnya pendekatan psikologi hukum terhadap putusan hakim bermuara pada putusan hakim yang dapat memberi rasa aman dan tenteram, rasa damai dan rasa puas bagi para pihak yang bersengketa.
1. Kajian Sosiologi Hukum
Untuk memahami karakteristik kajian sosiologi hukum, maka berikut ini akan dikemukakan berbagai pandangan dari para pakar sosiologi maupun sosiologi hukum. Antara lain Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, (Soerdjono Soekanto, 1985: 110) menyatakan “Ilmu masyarakat atau sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial”.
Menurut Achmad Ali (1998: 11):
“….sosiologi hukum menekankan kajian pada law in action, hukum dalam kenyataannya, hukum sebagai tingkah laku manusia, yang berarti berada di dunia sein. Sosiologi hukum menggunakan pendekatan empiris yang bersifat deskriptif…”.

Sosiologi hukum sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri merupakan ilmu sosial, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari kehidupan bersama manusia dengan sesamanya, yaitu pergaulan hidup, dengan kata lain sosiologi hukum mempelajari masyarakat khususnya gejala hukum dari masyarakat tersebut.
Karakteristik kajian atau studi hukum secara sosiologis menurut Satjipto Rahardjo (1986: 310-311), yaitu:
1.     Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari fenomena hukum yang bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktik-praktik hukum. Sosiologi hukum menjelaskan mengapa dan bagaimana praktik-praktik hukum itu terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor yang berpengaruh, latar belakang dan sebagainya.
2.     Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris (empirical validity)  dari suatu peraturan atau pernyataan hukum. Bagaimana kenyataannya peraturan itu, apakah sesuai dengan bunyi atau teks dari peraturan itu.
3.     Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Tingkah laku yang menaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama-sama merupakan objek pengamatan yang setaraf. Sosiologi hukum tidak menilai antara satu dengan yang lain, perhatian yang utama dari sosiologi hukum hanyalah pada memberikan penjelasan atau gambaran terhadap objek yang dipelajarinya.
Selanjutnya Satjipto Rahardjo (1979: 19) menambahkan bahwa untuk memahami permasalahan yang dikemukakan dalam kitab ujian ini dengan seksama, orang hanya dapat melakukan melalui pemanfaatan teori sosial mengenai hukum. Teori ini bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai hukum dengan mengarahkan pengkajiannya keluar dari sistem hukum. Kehadiran hukum di tengah-tengah masyarakat, baik itu menyangkut soal penyusunan sistemnya, memilih konsep-konsep serta pengertian-pengertian, menentukan subjek-subjek yang diaturnya, maupun soal bekerjanya dengan tertib sosial yang lebih luas. Apabila disini boleh dipakai istilah ‘sebab-sebab sosial’, maka sebab-sebab yang demikian itu hendak ditemukan baik dalam kekuatan-kekuatan budaya, politik, ekonomi atau sebab-sebab sosial yang lain.
Menurut pendapat Max Weber (Gerald Turkel, 1996: 10):
“…these three approaches are (1) a moral approach to law, (2) an approach from standpoint of jurisprudence, and (3) a sociologycal approach to law. Each of these approaches has a distinct focus on the relations among law and society and ways in which law should be studied”.

Pendekatan moral terhadap hukum menegaskan bahwa hukum adalah berakar pada kepercayaan-kepercayaan tentang karakter alami manusia (the nature of human being) dan juga berdasarkan pada kepercayaan tentang apa yang benar dan apa yang tidak benar. Perhatian terhadap hukum adalah terfokus pada tuntutan bahwa hukum harus mengekspresikan suatu moralitas umum (a common morality)yang didasarkan pada suatu konsensus tentang apa yang secara moral dianggap salah dan benar.
Pendekatan ilmu hukum berpandangan bahwa hukum seharusnya otonom. Selanjutnya legitimasi dari pendekatan hukum seharusnya bersandar pada kapasitasnya untuk membangkitkan suatu perangkat hukum yang bertalian secara logis (kohern) yang dapat diaplikasikan baik terhadap tindakan-tindakan individual ataupun terhadap kasus-kasus, yang dapat menimbulkan hal yang bersifat ambiguitas (bermakna ganda).
Baik pada pendekatan moral terhadap hukum maupun pendekatan ilmu hukum terhadap hukum, keduanya mempunyai kaitan dengan bagaimana norma-norma hukum membuat tindakan-tindakan bermakna dan tertib. Pendekatan moral mencakupi hukum dalam suatu arti yang mempunyai makna luas melalui pertalian konstruksi hukum dan kepercayaan-kepercayaan serta asas yang mendasarinya dijadikan sebagai sumber hukum.
Pendekatan ilmu hukum mencoba untuk menentukan konsep-konsep hukum dan hubungannya yang independen dengan asas-asas dan nilai-nilai non hukum. Kedua pendekatan ini meskipun memiliki perbedaan meskipun keduanya memfokuskan secara besar pada kandungan dan makna hukumnya.
  
Pendekatan sosiologi hukum juga mengenai hubungan hukum dengan moral dan logika internal hukum. Fokus utama pendekatan sosiologi hukum menurut Gerald Turkel (Achmad Ali, 1998: 34) adalah:
“1. Pengaruh Hukum terhadap perilaku sosial.
 2. Pada kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh masyarakat dalam “the sosial world” mereka.
Pada organisasi sosial dan perkembangan sosial serta pranata    
hukum.
Tentang bagaimana hukum itu dibuat.
Tentang kondisi-kondisi sosial yang menimbulkan hukum”.

Apabila kita membuat konstruksi hukum dan membuat kebijakan-kebijakan untuk merealisir tujuan-tujuannya, maka merupakan suatu hal yang esensial bahwa kita mempunyai pengetahuan empiris tentang akibat yang dapat ditimbulkan dengan berlakunya undang-undang atau kebijakan-kebijakan tertentu terhadap perilaku masyarakat. Sesuai dengan pendekatan sosiologis harus dipelajari undang-undang dan hukum itu, tidak hanya berkaitan dengan maksud dan tujuan moral etikanya dan juga tidak hanya yang berkaitan dengan substansinya, akan tetapi yang harus kita pelajari adalah yang berkaitan dengan bagaimana undang-undang itu diterapkan dalam praktik.
Curzon (1979: 139) menjelaskan:
 “The term ‘legal sociology’ has been used in some texts to refer to a spesific study of situations in which the rules of law operate, and of behavior resulting from the operation of those rules”.

Kajian terhadap hukum dapat dibedakan ke dalam beberapa pandangan di antaranya bahwa selain kajian sosiologi hukum terdapat pula kajian normatif dan kajian filosofis. Jika dalam kajian empiris sosiologis memandang hukum sebagai kenyataan, mencakup kenyataan sosial, kultur dan hal-hal empiris lainnya, maka kajian normatif memandang hukum dalam wujudnya sebagai kaidah, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Kajian normatif menekankan kajian pada law in books, hukum sebagaimana mestinya, olehnya itu berada dalam dunia sollen. Di samping itu, juga kajian normatif pada umumnya bersifat preskriptif, yaitu sifat yang menentukan apa yang salah dan apa yang benar. Kajian normatif terhadap hukum antara lain ilmu hukum pidana positif, ilmu hukum perdata positif, ilmu hukum tata negara, dan lain-lain.
Selanjutnya yang menjadi obyek utama kajian sosiologi hukum sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali (1998: 19-32), sebagai berikut:
1.     Menurut istilah Donald Black (1976: 2-4) dalam mengkaji hukum sebagaiGovernment Social Control, sosiologi hukum mengkaji hukum sebagai perangkat kaidah khusus yang berlaku serta dibutuhkan guna menegakkan ketertiban dalam suatu kehidupan masyarakat. Hukum dipandang sebagai rujukan yang akan digunakan oleh pemerintah dalam hal, melakukan pengendalian terhadap perilaku warga masyarakat.
2.     Persoalan pengendalian sosial tersebut oleh sosiologi hukum dikaji dalam kaitannya dengan sosialisasi yaitu proses dalam pembentukan masyarakat. Sebagai makhluk sosial yang menyadari eksistensi sebagai kaidah sosial yang ada dalam masyarakatnya, yang meliputi kaidah moral, agama, dan kaidah sosial lainnya. Dengan kesadaran tersebut diharapkan warga masyarakat menaatinya, berkaitan dengan itu maka tampaklah bahwa sosiologi hukum, cenderung memandang sosialisasi sebagai suatu proses yang mendahului dan menjadi pra kondisi sehingga memungkinkan pengendalian sosial dilaksanakan secara efektif.
3.     Obyek utama sosiologi hukum lainnya adalah stratifikasi. Stratifikasi sebagai obyek yang membahas sosiologi hukum bukanalah stratifikasi hukum seperti yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dengan teori grundnormnya, melainkan stratifikasi yang dikemukakan dalam suatu sistem kemasyarakatan. Dalam hal ini dapat dibahas bagaimana dampak adanya strstifikasi sosial terhadap hukum dan pelaksana hukum.
4.     Obyek utama lain dari kajian sosiologi hukum adalah pembahasan tentang perubahan, dalam hal ini mencakup perubahan hukum dan perubahan masyarakat serta hubungan timbal balik di antara keduanya. Salah satu persepsi penting dalam kajian sosiologi hukum adalah bahwa perubahan yang terjadi dalam masayarakat dapat direkayasa, dalam arti direncanakan terlebih dahulu oleh pemerintah dengan menggunakan perangkat hukum sebagai alatnya.
Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan di atas maka lahirlah konsep law as a tool of social engineering yang berati bahwa hukum sebagai alat untuk mengubah secara sadar masyarakat atau hukum sebagai alat rekayasa sosial. Oleh karena itu, dalam upaya menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial diupayakan pengoptimalan efektifitas hukumpun menjadi salah satu topik bahasan sosiologi hukum (Achmad Ali, 1998: 98-103).
Jadi fungsi hukum itu pasif, yaitu mempertahankan status quo sebagai a tool of social control, sebaliknya hukum pun dapat berfungsi aktif sebagai a tool of socialengineering. Oleh karena itu, penggunaan hukum sebagai alat rekayasa sosial didominasi oleh kekuasaan negara. Apabila kajian sosiologi hukum tentang bagaimana fungsi hukum, sebagai alat pengendalian sosial lebih banyak mengacu pada konsep-konsep antropologis, sebaliknya kajian sosiologi hukum tentang fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial lebih banyak mengacu pada konsep ilmu politik dan pemerintah.
Roscoe Pound sebagai pencetus konsep law as o tool of social engereering, memandang bahwa problem utama yang menjadi perhatian utama bagi para sosiolog hukum adalah untuk memungkinkan dan untuk mendorong pembuatan hukum, dan juga menafsirkan dan menerapkan aturan-aturan hukum, serta untuk membuat lebih berharganya fakta-fakta sosial di mana hukum harus berjalan dan di mana hukum itu diterapkan (Achmad Ali, 1998: 14). Roscoe Pound memang harus diakui sebagai kekuatan pemikiran baru yang mencoba mengonsepsikan ulang bagaimana hukum dan fungsi hukum harus dipahami. Roscoe Pound merupakan ilmuan hukum yang terbilang orang pertama yang berani menganjurkan agar ilmu pengetahuan sosial didayagunakan demi kemajuan teori-teori yang diperbaharui dan dibangun dalam ilmu hukum (Soetandyo Wignjosoebroto, 2002: 71).
Selanjutnya karakteristik dan kegunaan sosiologi hukum, menurut Vilhelm Aubert (1969: 10-11), yaitu:
“Sosiology of law is here viewed as a branch of general sosiology, just like family sosiology, industrial or medical soiology. It should not be overlooked, however, that sosiology legitimately may also be viewed as auxiliary of legal studies, an aid in executing the tasks of the legal profession. Sosiological analyses of phenomena which are regulated by law, may aid legislators or even the courts in making decisions. Quite important is the critical function of sociology of law, as an aid in enhancing the legal profession’s awareness of its own function in society. …Sosiology is concerned with values, with the preferences and evaluations that underlie basic structural arrgements in a society”.

Sosiologi hukum memperkenalkan banyak faktor-faktor non hukum yang mempengaruhi perilaku hukum tentang bagaimana mereka membentuk dan melaksanakan hukum. Dalam hal ini sosiologi hukum menekankan pada penerapan hukum secara wajar atau patut, yaitu memahami aturan hukum sebagai penuntun umum bagi hakim, yang menuntun hakim menghasilkan putusan yang adil, di mana hakim diberi kebebasan dalam menjatuhkan putusan terhadap setiap kasus yang diajukan kepadanya, sehingga hakim dapat menyelaraskan antara kebutuhan keadilan antara para pihak atau terdakwa dengan alasan umum dari warga masyarakat.
Menurut Baumgartner (Dennis Patterson, 1999: 406):
“Sociology is the scientific study of social life, and the sociology of law is accordingly the scientific study of legal behavior. Its mission is to predict and explain legal variation of every kind, including variation in what is defined as illegal, how cases enter legal system, and how cases are resolved”.

Sosiologi hukum adalah kajian ilmiah tentang kehidupan sosial. Salah satu misi sosiologi hukum adalah memprediksi dan menjelaskan berbagai fenomena hukum, antara lain bagaimana suatu kasus memasuki sistem hukum, dan bagaimana penyelesaiannya. Sosiologi hukum menggunakan fakta-fakta tentang lingkungan sosial di mana hukum itu berlaku. Kajian ini bekerja untuk menemukan prinsip-prinsip sosial yang mengatur bagaimana hukum bekerja secara konrit di dalam praktik. Sekalipun demikian, sosiologi hukum tidak memberikan penilaian terhadap fakta-fakta hukum yang ada akan tetapi menjelaskan bagaimana fakta-fakta hukum itu sesungguhnya terjadi dan apa penyebabnya. Sebagaimana penegasan Baumgartner (Dennis Patterson, 1999: 414):
“As a scientific enterprise, the sociology of law is not in a potition to pass judgment on the facts it uncovers. Those facts, however, often possess great moral relevance for participants and critics of a legal system”.
  
Pandangan sosiologi hukum pada dasarnya adalah hukum hanya salah satu dari banyak sistem sosial dan sistem-sistem sosial lain yang juga ada di dalam masyarakatlah yang banyak memberi arti dan pengaruh terhadap hukum. Dengan menggunakan pandangan yang sosiologis terhadap hukum, maka akan menghilangkan kecenderungan untuk selalu mengidentikkan hukum sebagai undang-undang belaka, seperti yang dianut oleh kalangan positivis atau legalistik.
Titik tolak sosiologi hukum sebagaimana dinyatakan oleh Lawrence M. Friedman (1975: vii), beranjak dari asumsi dasar:
“The people who make, apply, or use the law are human beings. Their behavior is social behavior. Yet, the study of law has proceeded in relative isolation from other studies sciences”.

Asumsi dasar yang menganggap bahwa orang yang membuat, menerapkan dan menggunakan hukum adalah manusia. Perilaku mereka adalah perilaku sosial. Inilah yang perlu dipahami bahwa hukum bertujuan untuk manusia dan bukan hukum bertujuan untuk hukum.
Dalam kajian sosiologi hukum, eksistensi pengadilan tidak mungkin netral atau otonom. Bagaimanapun setiap pengadilan yang berada pada suatu negara, sangat wajar jika memiliki keberpihakan pada ideologi dan “political will” negaranya. Oleh karenanya, adalah tidak aneh bagi sosiologi hukum jika pengadilan menjadi ”älat politik”, sebagaimana yang dinyatakan oleh Curzon (1979: 19):
“…the core of political jurisprudence is a vision of the courts as political agencies and judges as political actors…”
Oleh karena itu, sosiologi hukum bukanlah sosiologi ditambah hukum, sehingga pakar sosiologi hukum adalah seorang juris dan bukan seorang sosiolog. Tidak lain karena seorang sosiolog hukum pertama-tama harus mampu membaca, mengenal dan memahami, berbagai fenomena hukum sebagai objek kajiannya. Setelah itu, ia tidak menggunakan pendekatan ilmu hukum (dogmatik) untuk mengkaji dan menganalisis fenomena hukum tadi, melainkan ia melepaskan diri ke luar dan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial (Achmad Ali, 1998: 18).

2.     Kajian Psikologi Hukum
Di dalam penelitian ini digunakan kajian empiris yang objeknya adalah fenomena hukum, yaitu kajian yang memandang hukum sebagai kenyataan, meliputi kenyataan sosial, kultur dan lain-lain. Dengan perkataan lain, kajian empiris adalah mengkaji law in action (das Sein), pendekatannya adalah bersifat deskriptif. Kajian ilmu hukum yang empiris antara lain Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Perbandingan Hukum, Sejarah Hukum, Hukum dan Masyarakat, dan Psikologi Hukum.
Psikologi hukum dapatlah dikatakan menyoroti hukum sebagai salah satu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia. Ilmu ini mempelajari atau mengkaji perlaku hukum, yang mungkin merupakan perwujudan dari gejala-gejala kejiwaan tertentu, dan juga landasan kejiwaan dari perilaku atau sikap tindak tersebut (Soerjono Soekanto, 1993: 1-2).
Lebih spesifik lagi karakteristik dari pendekatan psikologi terhadap hukum, sebagaimana dinyatakan oleh Lawrence Wrightsman (1991)
“…psychological approach to the law emphasizes the human determinants of the law. So do sociology and anthropology – but the focus in the psychological approach is on individual as the unit analysis. Individuals are seen as responsible for their own conduct and as contributing to its causation. Psychology looks at the impact of the police officer, the victim, the juror, the lawyer, the judge, the defendant, the prison guard, and the parole officer on the legal system. Psychology assumes that the characteristics of these participants in the legal system effect how the system operates. In “characteristics”, include these persons’ abilities, their perspectives, their values, their experience – all the factors that influence theis behavior”.

Kajian psikologi hukum menekankan kepada faktor psikologis yang mempengaruhi perilaku individu ataupun kelompok dalam segala tindakannya di bidang hukum. Misalnya, bagaimana sikap atau perilaku polisi dalam menjalankan tugasnya untuk mencegah dan mengatasi terjadinya pelanggaran dan kejahatan? Bagaimana perilaku jaksa di dalam melakukan penyidikan, penahanan, dan penuntutan terhadap tersangka? Bagaimana perilaku atau sikap hakim di dalam memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan. Kondisi psikologis hakim dapat memberikan pengaruh kepada putusannya, maupun terhadap tindakan aktor-aktor atau penegak hukum lainnya.
Menurut Craig Haney (Curt Bartol, 1983: 20-22), bahwa hubungan psikologi dan hukum dapat dilihat dengan tiga metode, yaitu :
“psychology can relate to law in three ways: psychology in the law, psychology and the law, and psychology o the law”.…the psychology in the law relationship is the most frequent application of psychology to the legal system. In this situation, jurits use psychologists and their knowlegde for spesific cases, as by having them testify about a defendant’s mental condition or consult with attorneys regarding jury selection. …. psychology and the law, neither psychology nor law dominates or dictates to the other. …. psychology of the law, concerns itself with law as a determinant of behavior”.

Craig Haney menjelaskan setiap keterkaitan-keterkaitan psikologi dengan undang-undang. Hubungan psikologi dalam undang-undang (psychology in the law)merupakan aplikasi psikologi yang paling sering tampak terhadap sistem hukum. Dalam situasi seperti ini, para juris menggunakan para psikolog dan pengetahuan mereka untuk kasus-kasus spesifik, seperti dengan menyuruh mereka memberikan kesaksian tentang kondisi mental seorang terdakwa atau berkonsultasi dengan para lawyer tentang seleksi juri (dalam sistem peradilan di negara Anglo Saxon). 
Hubungan psikologi dan undang-undang (psychology and the law), psikologi dipandang sebagai disiplin terpisah yang menganalisis dena menyelidiki sistem hukum dari suatu persfektif psikologi dan mengembangkan riset dan teori psikologi. Dengan kajian-kajian yang dirancang dengan baik dan perumusan teori untuk menyatukan eksperimen-eksperimen, psikologi dapat mengembangkan suatu kumpulan pengetahuan psikologi yang relevan dengan sistem hukum. Apakah banyak asumsi hukum tentang perilaku manusia didukung secara empiris? Dapatkah psikologi ruang sidang/pengadilan yang digunakan oleh para lawyer didukung oleh prinsip-prinsip psikologi yang diperoleh melalui kajian ilmiah yang cermat, dirancang dengan baik? Apakah para saksi mata yang begitu serius diandalkan oleh sistem peradilan dalam pemberian vonis terhadap para terdakwa secara umum akurat dalam persepsi-persepsi dan ingatan-ingatan mereka tentang peristiwa-peristiwa yang mengelilingi kejahatan? Di dalam hubungan psikologi dan hukum, psikologi berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini.
Jika jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, tidak memberikan hasil yang logis dan ilmiah maka warga masyarakat melakukan tuntutan perubahan terhadap sistem peradilan. Kondisi seperti ini telah dinyatakan oleh Craig Haney (Curt R. Bartol, 1983: 21-22):
“If the results are negative, at the legal system chooses not to change its procedures and thinking in the direction of the scientific evidence, then educated members of society concerned about the ocean of psychological fiction in the judicial system may demand the change. Thus, psychology can be use to change legal doctrine as well as to alter the system n which law is developed and administered”.

Jadi, psikologi dapat digunakan untuk mengubah doktrin hukum dan juga menggati sistem yang di dalamnya hukum dikembangkan dan ditangani. Selanjutnya pada sisi yang lain psikologi tentang undang-undang, menaruh perhatian pada hukum sebagai determinan perilaku.
Kemudian hubungan psikologi tentang undang-undang (psychology of the law), menaruh perhatian pada hukum sebagai determinan perilaku. Bagaimana undang-undang (hukum) mempengaruhi masyarakat dan bagaimana masyarakat mempengaruhi undang-undang? Psikologi tentang hukum mengkaji ketidakadilan-ketidakadilan sosial dan berusaha untuk memahami mengapa masyarakat membiarkan fiksi-fiksi atau dugaan-dugaan hukum untuk berkembang dan mengapa masyarakat mengizinkan kebijakan-kebijakan yang dianggap berbahaya atau menimbulkan bencana untuk berlanjut ada.
Michael J. Saks and Reid Hastie (1978: 39), menjelaskan tentang perilaku hakim yang dapat mempengaruhi tuntutan jaksa, seperti yang digambarkan dalam hasil penelitiannya, yaitu:
“Because the judge’s decisions effect a prosecutor’s conviction rate, and replect on the police officer’s arrest record. These system actors will either anticipate or rapidly respons to the judge’s altered behavior”.

Secara sepintas terlihat bahwa kajian psikologi hukum seolah-olah merupakan bagian dari kajian sosiologi hukum, tetapi dilihat dari objek kajiannya, maka tampak adanya perbedaan antara keduanya. Namun demikian, ada juga sebagian pakar yang menempatkan psikologi hukum sebagai bagian dari psikologi sosial. Terlepas dari perbedaan itu, yang penting diketahui adalah karakteristik kajian psikologi hukum itu yang berbeda dengan pendekatan atau kajian empiris lainnya. Jadi, hubungan psikologi dan hukum merupakan suatu mitra yang setara di dalam melakukan analisis terhadap sistem peradilan, terutama dalam melakukan riset tentang kebijakan-kebijakan hakim, penetapan hakim, dan putusan hakim.
Pendekatan psikologi hukum juga digambarkan oleh Satjipto Rahardjo (Kompas.com: 1997), hukum itu perlu dipahami dalam konteks perilaku, hukum itu terjabarkan dalam perilaku anggota masyarakat, baik para penegak hukum maupun rakyat biasa. Itulah sebabnya Oliver Wonder Holmes menyatakan bahwa hukum itu bukan logika tetapi pengalaman (The life of the law was not been logic, but experience). Orang terkadang mengumpamakan hukum itu sebagai sebuah gerobak yang dapat dimuati berbagai barang. Artinya tidak hanya satu jenis barang yang dapat dimuat di situ, tetapi hukum dapat dimuati berbagai macam kepentingan, sesuai dengan pihak-pihak yang berkepentingan tersebut. Dengan demikian, peraturan yang kelihatannya “tidak punya salah” itu, dalam pelaksanaan atau penegakannya ternyata dilakukan dengan memasukkan kepentingan-kepentingan dari mereka yang terlibat.
Lebih lanjut Satjipto Rahardjo (Kompas.com, 1997) menyatakan bahwa kalau hukum sudah tampil dalam bentuk perilaku, maka untuk memahaminya dibutuhkan kajian dari berbagai bidang disiplin ilmu, seperti politik, psikologi, bahkan sastera. Sebagai contoh tentang masukan perilaku ke dalam sistem hukum. Kita telah menyaksikan bahwa selama lima puluh Tahun lebih kehidupan ketatanegaraan bangsa Indonesia hampir sepenuhnya diatur oleh UUD 1945. Kendatipun menggunakan UUD yang tetap sama itu kita telah mengalami praksis yang berbeda-beda, seperti munculnya periodesasi orde lama dan orde baru. Perbedaan itu hanya dapat dijelaskan dari perilaku kenegaraan bangsa kita, tidak dari segi hukum ketatanegaraan. Perilaku para pelaku yang telah memasukkan muatan ideologi dan lain-lain kepentingan yang berbeda-beda ke dalam UUD tersebut, telah memunculkan karakter yang berbeda-beda pada kedua orde tersebut.
  
Demikian pula para aktor yang terlibat di dalam proses persidangan di pengadilan, baik hakim, jaksa, pengacara, maupun para klien (pencari keadilan), kesemuanya mempunyai karakter yang berbeda-beda tergantung pada proses sosialisasi yang mereka lalui. Oleh karena itu, Michael J. Saks dan Reid Hastie (1978: 205) menyatakan:
“…the various actors who come together in and around courts are inseparable from their membership in a social system. Apart from their social system, the individual components become stripped of their meaning and without function”.

            Perilaku yang berbeda dari para aktor yang terlibat di dalam proses peradilan, tidak memungkinkan lahirnya suatu putusan yang netral. Untuk memahami perilaku dari setiap aktor hukum itu, maka disinilah pentingnya pendekatan psikologi hukum.

Kamis, 26 Januari 2012

Memahami Masyarakat Adat di Indonesia

Sumber dari  berbagai Bacaan , tulisan Koran dan Opini
 sekedar memahami dan berinvestasi dalam masyarakat Adat.


Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat baru-baru ini mewajibkan investor mengakui dan menghormati hak wilayah kelola maupun tradisi adat masyarakat setempat. Termasuk norma dan hukum adat yang berlaku di sekitar lokasi kegiatan usaha. Selama ini provinsi Kalimantan Barat termasuk daerah yang menarik bagi investor karena banyaknya peluang bisnis seperti perkebunan sawit, karet, dan kelapa. Namun masalahnya investasi di daerah seringkali menimbulkan konflik dengan masyarakat adat. Lalu bagaimana pelaksanaan kebijakan ini? Apa saja yang harus diperhatikan oleh para investor?

Wajib Hormati Adat

PONTIANAK—Pemerintah Provinsi Kalbar mewajibkan investor mengakui dan menghormati hak wilayah kelola maupun tradisi adat masyarakat setempat, termasuk norma dan hukum adat yang berlaku di sekitar lokasi kegiatan.”Ini untuk menjaga keseimbangan agar dampak negatifnya dapat diminimalisir,” ujar Wakil Gubernur Kalbar, Christiandy Sanjaya di DPRD Kalbar, Senin (27/6) pagi.Menurut Christiandy, Kalbar termasuk daerah yang menarik untuk investor. Investasi ini dapat bermanfaat bagi semua pigak. Apalagi saat ini Pemprov Kalbar ingin mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat.”Dengan adanya investasi, kesejahteraan rakyat dapat meningkat. Perusahaan juga bisa dapat untuk. Makanya agar bisa terealisasi, perlu kepastian hukum dengan rancangan perda,” kata Christiandy.
Kepastian hukum ini untuk memberi rasa aman dalam penanaman modal. Masyarakat, budaya lokal, dan lingkungan tetap terjaga dengan baik. Peluang usaha itu ada di semua sektor, termasuk perkebunan sawit, karet, kelapa, kakao, jagung, dan sektor pertanian. ”Kita merencanakan misalnya 1,5 juta hektar untuk sawit. Tetapi yang tertanam hanya 500 ribu. Ada sejuta sisanya yang mungkin karena belum terealisasi. Pendataan soal izin perkebunan ini ada di Dinas Perkebunan,” katanya.

Sebagai upaya menjaga keseimbangan dari investasi, pemprov juga meminta penanam modal menjaga kelestarian fungsi lingkungan dan melakukan rehabilitasi lingkungan, jika terjadi kerusakan dari usaha yang dilakukan. Investor harus melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan dengan memperhatikan masyarakat lokal. Diwajibkan juga melakukan konsultasi publik/sosialisasi yang berimbang kepada masyarakat di sekitar lokasi kegiatan.”Penanaman modal hanya dapat tercapai jika faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal tersebut dapat diatasi dengan baik,” ujarnya. (uni)
Sumber : 
pontianakpost.com

Investasi Versus Kearifan Lokal
Konflik antara masyarakat adat dengan investor di satu daerah bukanlah hal yang baru. Acap kali kita mendengar di berbagai daerah terjadi konflik saat kepentingan ekonomi berbenturan dengan adat di wilayah tersebut. Padahal sesungguhnya keberadaan masyarakat adat telah dilindungi konstitusi. UUD 1945 pasal 18 mengamanatkan negara mengakui keberadaan masyarakat adat dan teritorialnya, termasuk kearifan lokal yang masih ada.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN Kalimantan Barat Sujarni Alloy mengatakan, konflik antara pemodal dan masyarakat telah terjadi sejak dimulainya investasi di satu daerah, tak terkecuali di Kalimantan Barat.
“Padahal Indonesia menjadi salah satu penandatangan deklarasi terkait pengakuan hak-hak masyarakat adat yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa PBB beberapa tahun lalu”, katanya.
Menurut catatan AMAN, di Kalimantan Barat konflik antara investor dan masyarakat adat mencapai 200 lebih kasus. Benturan ini terjadi karena investor yang tidak mengakui hak-hak masyarakat adat di wilayah tersebut. Reformasi hukum yang terjadi selama ini pun menurut Sujarni tidak ada yang menyinggung tentang hak masyarakat adat.
Sementara itu menurut Wakil Ketua DPRD Kalimantan Barat Nicodemus R Toun, perlu adanya regulasi permanen yang dapat menjadi acuan dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.
“Kami sedang menggodok rancangan peraturan daerah yang dusulkan Dewan Adat Provinsi Kalimantan Barat terkait masyarakat Dayak”, lanjut Nicodemus.
Diharapkan nantinya aturan ini bisa diterima seluruh pihak yang berkepentingan seperti masyarakat dayak, pemodal, dan pemerintah sendiri serta tidak lupa tentunya selaras dengan hukum yang berlaku.
Pendapat yang hampir senada juga disampaikan oleh dosen Fakultas Hukum, Universitas Tanjung Pura, Pontianak, Aswandi. Menurutnya, aturan hukum yang ada di Indonesia saat ini yang terkait hak masyarakat adat masih mengandung banyak persyaratan. Hal ini menunjukkan adanya pemaksaan dari negara mengenai bentuk hukum adat yang diakui.
“Padahal hukum adat di setiap daerah berbeda satu sama lain karena mempunyai nilai yang berbeda. Belum lagi adanya keberpihakan terhadap kepentingan ekonomi dalam aturan hukum yang ada”, lanjut Aswandi.
Penyelamatan Hak Masyarakat Adat
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Tanjung Pura, Pontianak, Aswandi mengatakan, kelemahan yang terjadi saat ini adalah anggapan bahwa hukum yang diakui di Indonesia adalah hukum yang tertulis.
“Hukum adat ada ratusan dan banyak yang tidak tertulis. Karena itulah perlu adanya undang-undang yang melindungi dan mengakui hukum adat. Jika hukum adat hendak diadopsi dalam hukum positif atau tertulis maka perlu disaring dan dipastikan tidak bertentangan dengan Pancasila”, lanjut Aswandi.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN Kalimantan Barat Sujarni Alloy mengatakan, hal yang terpenting adalah bagaimana pemerintah mengartikan hak masyarakat adat. Karena itu penting adanya hukum yang melindungi dan mengakui hukum adat. Dengan adanya hukum maka akan menjadi acuan segala aturan yang mengikuti terkait hak masyarakat adat. Sujarni Alloy menegaskan bahwa masyarakat adat telah ada sebelum Indonesia terbentuk, mereka pula yang juga turut membantu mendeklarasikan kemerdekaan negara ini.

Investasi Bisnis Versus Hak Adat


Nestor Rico Tambunan
Keadilan, kata pengarang Prancis Emile Zola, tak mungkin ada kecuali dalam kebenaran. Dan kebahagiaan tak mungkin ada, kecuali dalam keadilan.
Kebenaran ucapan Emile Zola ini akan amat terasa bila merenungi nasib masyarakat adat di berbagai belahan bumi Nusantara saat ini. Perusahaan-perusahaan besar terus menerobos deras menanam investasi sampai ke jantung pemukiman suku-suku dan masyarakat adat, menguasai tanah dan segala kekayaannya, dan memarjinalkan hak-hak ulayat masyarakat adat setempat.
Masyarakat-masyarakat adat semakin tersingkir dan dimiskinkan. Padahal, masyarakat-masyarakat itu sudah turun-temurun hidup di sana, jauh sebelum perusahaan itu ada, bahkan sebelum negeri ini berdiri.
Lalu, dimana kebenaran dan keadilan?
Kasus Masyarakat Tapanuli
Salah satu contoh pemarjinalan hak masyarakat adat paling kontroversial adalah pencaplokan hutan-hutan alam di kawasan Tapanuli dan sekitar Danau Toba, Sumatera Utara, oleh PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang belakangan berubah jadi PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Perusahaan penghasil pulp ini mendapat konsesi hak penguasaan hutan tanaman industri (HPHTI) dari pemerintah tahun 1983. Dengan senjata konsesi itu, anak perusahaan grup Raja Garuda Mas milik konglomerat Sukanto Tanoto ini menebangi hutan-hutan di kawasan Tapanuli dan selanjutnya mengganti dengan tanaman eukaliptus. Masyarakat-masyarakat adat Batak yang sudah turun temurun mengelola dan menjaga hutan tersebut protes, sehingga menimbulkan bentrok fisik, hukum, dan konflik sosial.
Konflik itu terus berlangsung selama 27 tahun. Konflik terakhir adalah protes masyarakat atas penebangan hutan kemenyan di Kab. Humbang Hasundutan. Kemenyan adalah komoditi unggulan lokal kawasan Humbang yang sangat langka, bukan hanya untuk ukuran Indonesia, bahkan dunia, karena hanya ada hutan di wilayah ini. Sudah ratusan tahun hutan kemenyan tersebut secara turun temurun menjadi sumber ekonomi penduduk setempat.
TPL merasa berhak menebangi hutan kemenyan dan kemudian mengganti dengan eukaliptus, dengan alasan hutan tersebut masuk kawasan konsesi HPHTI mereka. Dari sekitar 30.000-an hektar hutan kemenyan, konon kini hanya tersisa 7.400 hektar. Sisa itu pun terus mendapat tekanan, karena dikelilingi hutan tanaman industri TPL.
Masyarakat adat Humbang Hasundutan tidak berdaya, karena seperti dalam konflik-konflik sebelumnya, aparat keamanan dan hukum cenderung selalu berpihak pada TPL dan cepat mengkriminalisasi rakyat. Sementara pemerintah-pemerintah daerah, entah kenapa, cenderung diam dan jadi penonton.
TPL dengan enteng menjawab semua klaim masyarakat dengan berlindung pada pemerintah selaku pemberi konsesi hak pengusahaan hutan. "TPL ini enggak punya tanah, yang punya tanah itu negara. Pemerintah memberikannya kepada kami dalam bentuk konsesi, jadi kalau mau komplain, mestinya bukan ke TPL, tetapi ke pemerintah," kata Direktur PT TPL Juanda Panjaitan. (Kompas, 28/7/ 2010).

Kasus di Berbagai Daerah
Sejarah kehidupan orang Batak di kawasan Tapanuli dan sekitar Danau Toba telah berlangsung turun temurun sejak 600 – 700 tahun lalu. Dengan kearifan khas adat Batak, masing-masing masyarakat adat menjaga hutan ulayat mereka. Hutan-hutan adat itu mengandung nilai dan fungsi konservasi yang tinggi.
Sukanto Tanoto, pemilik Raja Garuda Mas dan TPL adalah pengusaha HPH, kelapa sawit, dan pabrik kertas yang termasuk orang terkaya di Indonesia, bahkan di dunia. Ketika nenek-moyang orang Batak mulai bermukim di Tapanuli, mungkin nenek moyang Sukanto Tanoto masih di daratan China. Sungguh tak adil, masyarakat adat Batak di kawasan Tapanuli dan sekitar Danau Toba dikalahkan (dikorbankan) untuk seorang konglomerat China yang sudah mahakaya.
Tapi masyarakat Tapanuli tidak sendirian. Di berbagai kawasan lain di Sumatera, antara lain di Riau, juga terjadi kasus yang sama. Tidak hanya dengan pemegang konsesi HPH, tapi juga perkebunan-perkebunan kelapa sawit besar. Di Kalimantan, hak ulayat masyarakat-masyarakat adat Dayak sudah lama tercerai-berai oleh para pengusaha HPH. Belakangan muncul pula perkebunan-perkebunan kelapa sawit dan pengusaha-pengusaha pemegang konsesi hak penguasaan tambang (HPT) batubara.
Dulu hutan-hutan Kalimantan ditebang, sekarang ditanami kelapa sawit atau dikeruk. Bukan hanya hutan, bahkan perkampungan, kebun, dan sawah masyarakat Dayak tahu-tahu telah berada dalam konsesi perkebunan atau pertambangan para pengusaha yang datang entah dari mana. Seperti dikeluhkan Kepala Desa Long Bentuk, Kab. Kutai Timur, Kaltim, Benediktus Beng Lui, saat ini desanya terancam perluasan kebun kelapa sawit. Ketika perusahaan itu mendapat izin dari pemerintah, keberadaan desa itu tidak dicantumkan (Kompas, 20/10/2010).
Nasib yang sama juga kemungkinan akan menimpa wilayah Papua, yang kini jadi sasaran baru para investor, termasuk perkebunan. Apalagi, belakangan pemerintah sedang gencar menggolkan gagasan pertanian berskala luas, seperti proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate di Merauke.

Mengakomodasi Hak Adat
Hingga saat ini, memang belum satu pun peraturan perundangan di Indonesia yang mengakui kepemilikan tanah masyarakat adat. Baik UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maupun SK Menhut No. 44/2005 menyatakan tanah milik Negara. Artinya, hak kepemilikan tanah berada di tangan pemerintah. Pemerintah hanya mengakui hak kelola terhadap suatu tanah adat oleh masyarakat setempat, namun kepemilikan tidak.
Karena milik negara itu, pemerintah berhak mengkonsesikan kawasan hutan pada perusahaan swasta. Persoalannya, pemberian konsesi itu tanpa melihat di dalamnya terdapat tanah ulayat atau adat. Mestinya, pemerintah harus menghormati hak ulayat itu, karena mereka sudah mengelola tanah tersebut bahkan sebelum negara ini berdiri.
Tanah adat, menurut hukum adat, merupakan hak-hak perorangan atas tanah yang menjadi hak pribadi, akan tetapi didalamnya mengandung unsur kebersamaan. Istilah modernnya, mengandung "fungsi sosial". Hak ini sangat perlu dipertimbangkan, karena hukum adat juga merupakan sumber utama hukum undang-undang agraria atau hukum pertanahan Indonesia.
Akomodasi kepentingan adat di negara-negara Pasifik Selatan bisa menjadi contoh. Fiji dan Selandia Baru misalnya, selama ini mengakui dan mengakomodasi kebutuhan masyarakat adat penduduk asli. Bahkan, di Republik Rakyat China yang memakai sistem pemerintahan otoriter, keberadaan masyarakat adat (shau shu min zhu) diakui dan memiliki hak khusus.
Dalam kasus konflik masyarakat adat dengan TPL di Humbang Hasundutan, hutan-hutan kemenyan yang ratusan tahun dikuasai dan menjadi sumber ekonomi masyarakat adat setempat mestinya bisa dikeluarkan dari kawasan hutan negara sesuai SK Menhut No. 44/2005. Pemerintah Kab. Humbang Hasundutan bisa mengajukan kepada Menteri Kehutanan agar tanah ulayat hutan kemenyan tersebut dikeluarkan dari konsesi TPL.

Bagian dari Reformasi Agraria
Kearifan adat dan masyarakat lokal adalah bagian dari wujud multikulturalisme dan keberagaman Indonesia. Dan itulah sesungguhnya “Indonesian Dream” – Indonesia yang kita impikan. Bersatu dalam keberagaman. Karena itu, kepemilikan masyarakat adat terhadap tanah mestinya diproteksi atau diatur dalam undang-undang, minimal dalam bentuk peraturan daerah.
Presiden SBY pernah menjanjikan akan melaksanakan reformasi agraria. Reformasi agraria ini mestinya menjadi kesempatan mengakomodasi hak-hak ulayat masyarakat adat ini. Pemerintah harus memberi kesempatan kepada masyarakat adat untuk mengurus hak kepemilikan tanah mereka.
Caranya, dengan melakukan harmonisasi terhadap semua peraturan perundangan yang bersentuhan dengan pertanahan. Pemerintah harus mengatur pembatasan konsesi terhadap pihak swasta yang ingin membuka lahan baru, sehingga tidak main caplok dan menyerobot kawasan tanah adat. Pemerintah juga perlu mengatur peruntukan semua kawasan hutan, sehingga bisa melakukan monitoring dan evaluasi terhadap rencana ekspansi pihak swasta. Karena, pihak swasta pasti akan terus melakukan ekspansi jika diberi kesempatan.
Mestinya bisa. Mestinya Presiden SBY serius melaksakan komitmen politiknya di bidang agraria. Kalau tidak, ia akan dinilai sebagai pimpinan yang cuma gemar wacana.
Masyarakat adat sudah terlalu lama dan banyak menjadi korban. Telah begitu banyak pengusaha menjadi orang sangat kaya karena konsesi-konsesi yang diberikan pemerintah. Sementara masyarakat-masyarakat adat tetap terpuruk dalam kemiskinan, terseok-seok bertahan hidup di bumi mereka yang terkoyak-koyak.
Kalau ketidakadilan ini kita biarkan terus berlangsung, lalu dimana ke-Indonesia-an kita? Kalau negara terus absen, terus berpihak pada pemilik modal, rakyat akan merasa seperti yatim piatu. Kita harus hati-hati. Karena kita akan berhadapan dengan makin banyak masyarakat yang frustasi. Masyarakat yang semakin mudah marah karena merasa diperlakukan tidak adil.
Kebahagiaan tak mungkin ada, kecuali dalam keadilan. Dan keadilan tak mungkin ada, kecuali dalam kebenaran. *


Uji Tuntas (due deligent) sebagai pemikat Investasi
Oleh : Jun Cai SH MHum. Dalam berbagai kesempatan melakukan Uji Tuntas terhadap kemungkinan dilakukannya investasi, penulis melihat bahwa dari pendekatan sistem, Uji Tuntas ini layaknya merupakan suatu proses menuju pencapaian kepastian hukum. 
Pendekatan sistem ini dimaksudkan sebagai suatu pendekatan menyeluruh (thorough) atas pola uji tuntas yang tidak saja melihat aspek yuridis (Uji Tuntas Sistem hukum yang meliputi berbagai departemen hukum (Kepolisian, Pengadilan, Kejaksaan) dan pemerintah dalam hal ini departemen terkait (Badan Pertanahan, Badan Perizinan Satu Atap, Departemen Kehutanan, Lingkungan Hidup dan departemen terkait dimana uji tuntas itu difokuskan).
Uji tuntas dalam pendekatan Sosial juga meliputi pola perilaku masyarakat yang lebih dikonkritkan pada aspek lembaga adat, lembaga kekerabatan, pola kerjasama tertentu.
Dilihat dari pendekatan sistem lebih jauh lagi bahwa Uji Tuntas tidak saja mencakup aspek Hukum, Sosial, Ekonomi, melainkan pula pada aspek tradisi. Aspek Tradisi dimaksudkan sebagai kebiasaan pola kekerabatan yang melibatkan keadaan sosial dimana objek uji tuntas itu dilaksanakan. Satu hal yang sangat penting dalam uji tuntas adalah bahwa Fokus dilaksanakan uji tuntas tersebut. Fokus lebih jauh lagi dimaksudkan untuk mencari tujuan utama dilakukannya uji tuntas.
Uji tuntas biasanya sangat sering dilakukan dalam bidang Investasi. Tentu saja Fokusnya adalah pada penanaman Modal baik dalam negeri maupun asing. Uji tuntas sebenarnya juga penting tidak saja berupa investasi melainkan juga dari pihak Penjual dalam hal ini yang hendak melepaskan investasinya. Uji tuntas, dilihat dari segi pembeli tentu saja hendak menjamin investasinya dari kemungkinan akan konflik, persoalan lebih lanjut demi tercapainya investasi jangka panjang. Namun tidak kalah penting adalah uji tuntas dari segi Penjual. Biasanya uji tuntas ini dimaksudkan untuk menilai jumlah likuiditas atau asset yang bersangkutan. Biasanya penjual dalam hal ini kurang memahami berapa besar aktifitas investasinya sendiri sehingga dia ragu menilai harga ataupun realitas usahanya.
Dari beberapa kali pelaksanaan Uji Tuntas yang dilakukan yang melibatkan pembelian perusahaan dan atau asset perusahaan. Uji tuntas yang paling dominan bagi perusahaan asing (Foreign Direct Investment) adalah uji tuntas yang sangat detail dan fokus. Umumnya dilaksanakanya uji tuntas ini terlebih dahulu dengan menilai kinerja dokumen yang ada hingga pada keberadaan asset yang menyeluruh sampai pada pola kekerabatan masyarakat sebagai pedoman di masyarakat.
Dalam uji tuntas yang dilakukan oleh investasi dalam negeri (Domestic Direct Investment) sering meliputi penilaian asset yang hendak dijual hingga pada portfolio likuiditas asset. Tidak jarang uji tuntas yang dilakukan sebatas uji tuntas hukum (legal due diligent) yang merupakan penjamin dari kepastian hukum yang ada.
Kepastian hukum adalah merupakan suatu First Priority bagi investasi. Dengan iklim usaha di Indonesia yang dari waktu ke waktu begitu kondusif dan peranan Indonesia di Asean, maka layaklah pelaku usaha baik dalam dan luar negeri diberikan suatu kepastian hukum. Oleh karenanya Uji tuntas ini seharusnya ada dan selalu diberikan sebagai bentuk pelayanan bagi kepastian hukum yang bisa saja dilekatkan dalam departemen yang langsung terkait pada investasi misalnya Investment Board. Bukankah selain promosi yang baik dengan menampilkan keunggulan kompetitif, keunggulan demografis dan sebagainya, Kita bisa juga menampilkan keunggulan Kepastian Hukum.
Departemen yang sangat terkait bagi penanaman modal dalam negeri dan asing adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Tentu saja struktur BKPM dengan segala sumber daya yang dimiliki dituntut dapat memberikan pelayanan informatif baik segi keunggulan maupun kepastian hukum melalui penyajian Uji tuntas bidang tertentu. Mungkin saja hal ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Bukankah investasi yang baik adalah investasi di sektor riel yang memerlukan support dari pemerintah. Semoga sekelumit pemikiran ini bermanfaat bagi terciptanya kepastian hukum berinvestasi di Indonesia yang sama sama kita cintai. Maju Indonesia!!.
(Penulis adalah Lawyer/Partner pada Chow & Associates Law Firm)










Sekedar Mengenal Hukum Nasional Indonesia

Hukum Nasional Indonesia

   Indonesia sebagai Negara dengan penduduk  terbesar ke IV di dunia mempunyai sumber kekayaan alam yang berlimpah ,kaya pula ragam social Budaya, Etnick adat dan budaya.
   Sebagai Negara demokrasi yang ingin melindungi,masyarakatnya dalam percaturan masyarakat dunia tidak lupa pula memerlukan sarana dan prasarana hukum,, alat – alat hukum dan tak akan melupakan pula system hukum yang melingkupinya pula.
   Berlatar belakang kekayaan sejarahnya pula Indonesia memiliki multi dimensi ragam tatanan hukum yang berlaku pengaruh langsung sejarah yang telah dilalui maupun massa sejarah yang akan dicapainya nanti.


   Berawal dari Sejarah Hukum yang ada dan berlaku di Indonesia serta warisan budaya yang telah melekat dan keinginan pencapaian yang akan datang maka timbulah pertannyaan 
*”Apakah Hukum Nasional Indonesia Itu”?.....


   Kehidupan bangsa Indonesia terus mengalami perubahan. Perubahan itu terarah kepada tujuan Negara yang telah disepakati perlu dilakukan secara sengaja dan terencana, tidaklah mungkin selamanya manusia Indonesia hidup dalam alam tradisional dan kedaerahan, sejak adanya Soempah pemuda 1928, kita telah bertekad berbangsa satu bangsa Indonesia,Dalam semangat yang  sama  langkah  itu perlu diikuti dengan tekad menyusun Hukum Nasional Indonesia.
   Kita bersatu bukan untuk melebur diri dari jati diri masing – masing , Kemajemukan hukum merupakan bagian dari kemajemukan budaya, kemajemukan hukum merupakan aset nasional yang sangat berharga yang memberi  kedinamisan dan kemajuan hidup bersama dalam Bhineka Tunggal Ika.
   Indonesia sebagai Negara yang tak lepas dari pergaulan Internasional supaya dapat berdiri sejajar  dengan Negara – Negara Internatioanal  mensyaratkan adanya hukum nasional yang mengakomodasikan nilai hukum Internasional yang tak melupakan kedaulatan hukum nasionalnya. Hukum disini dapat digambarkan sebagai lady of justice, nilai nilai yang terkandung dalamnya adalah persamaan (Equality before the law) yaitu dengan gambar matanya di tutup seloah olah hukum tidak membeda satu orang dengan orang lain baik berdasarkan agama, suku, golongan dan status ekonomi. Selanjutnya adanya skala untuk pertimbangan.. yaitu bahwa di dalam hukum harus mendengarkan kedua belah pihak dan bersenketa dan mempertimbangkan dengan bukti bukti yang ada. Sebuah keputusan harus berdasarkan fakta fakta yang di sampaikan. Gambar yang terakhir adalah Law enforcement yaitu penegakan hukum yang di lambangkan dengan pedang. Hukum di terapkan dengan kekuasaan yang legitimate. Oleh karena itu hukum harus di dasarkan pada persamaan, pertimbangan dan pelaksanaan. Tanpa ketiga faktor tersebut maka hukum kita itu mati hanya sebagai law in the bookshelf.
   Selain itu kita juga harus memahami simbol garuda pancasila, dengan 5 nilai pancasila.  Ada beberapa yang berpendapat bahwa pancasila sudah tidak lagi relavan namun dengan berbagai masalah pancasila semakin relavan untuk di terapkan. Khususnya pancasila yang berkaitan dengan hukum.
Tata Hukum Pancasila adalah Tata Hukum Indonesia. Pengantar Tata Hukum Indonesia adalah sama seperti Tata Hukum Pancasila oleh karena itu “hukum pancasila adalah hukum tertulis di Indonesia, hukum yang hidup di indonesia dan hukum yang di cita citakan oleh bangsa Indonesia”. 
   Oleh karena hukum di Indonesia harus mencerminkan.  Hukum yang akan mengakui tuhan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan indonesia, kerakayatan dan keadilan sosial. Oleh karena itu semua permasalahan yang di hadapi oleh bangsa ini harus dapat diselesaikan oleh Hukum pancasila. Dimana terdapat dalam sistem hukum pancasila yaitu adalah sesuai dengan teori lawrence friedman:
1.     Substantif – Hukum Postive
2.     Struktur – Struktur Kelembagaan
3.     Budaya  – Budaya hukum yang hidup didalam masyarakat.
Ada beberapa hal yang menarik tentang eksistensi hukum pancasila karena kita sekarang kenal dengan berbagai wacana tentang ekonomi pancasila namun untuk hukum pancasila jarang kita jumpai.

   Hukum Indonesia pada hakikatnya merupakan system yang terdiri dari unsure – unsure atau bagian bagian yang satu sama lain  saling berkaitan dan berhubungan untuk mencapai tujuan yang didasarkan pada UUD 1945 dan dijiwai  falsafah Pancasila, Sebagai suatu system system hukum Indonesia yang bersifat terbuka sehingga disampaing factor diluar (politik,ekonomi,social) dapat mempengaruhi system hukum Indonesia juga terbuka untuk penafsiran yang lain.
   Dalam Hukum Positif Indonesia hukum lahir dari berbagai sumber hukum formill tersebut, dan Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum menurut Pasal 2 UU No.10 tahun 2004 (Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
   Fungsi dan peran Pancasila sebagai sumber hukum antara lain: sebagai perekat kesatuan hukum Nasional  artinya setiap aturan hukum yang mengatur segi-segi kehidupan tidak boleh bertentangan dengan nilai nilai Pancasila sebagai Dasar Filsafat,pandangan hidup dan Dasar Negara.Berikutnya sebagai cita- cita Hukum Nasional bermakna bahwa seluruh peraturan yang timbul dan mengatur kehidupan masyarakat dibentuk untuk mewujudkan cita-cita berbagsa dan bernegara yang didasarkan pada nilai- nilai Pancasila secara utuh.
   Tata urutan perundang-undangan menurut  uu no 10 tahun 2004 adalah sebagai berikut;
1.     Undang – undang Dasar 1945 (UUD NKRI 1945)
2.     Undang – Undang (UU) / Peraturan pemerintah Pengganti Undang- Undang (perpu).
3.     Peraturan Pemerintah (PP)
4.     Peraturan Presiden (Pepres)
5.     Peraturan Daerah (Perda) terdiri dari: (Perda Propinsi,Perda Kabupaten/Kota,Peraturan desa/Peraturan yang setingkat).
   Sistem Hukum sendiri adalah kesatuan utuh dari tatanan – tatanan yang terdiri dari bagian – bagian atau unsure – unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan berkaitan erat.
 Sistem Hukum Indonesia yang secara umum berlaku di Indonesia
I.Sistem Hukum Eropa Kontinental.
Prinsip Utama atau prinsip dasar Sistem Hukum Eropa Kontinental ialah bahwa hukum itu memperoleh kekuatan mengikat karena peraturan yang berbentuk Undang – Undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi. Undang – Undang dibentuk oleh badan legislative, selain itu peraturan – peraturan yang dipakai sebagai pegangan kekuasaan eksekutif yang dibuat olehnya berdasarkan kewenangannya dan kebiasaaan- kebiasaaan yang hidup dalam masyarakat tidak bertentangan dengan undang – undang diakui pula sebagai sumber hukum.
Sistem Hukum Eropa Kontinental digolongkan menjadi dua bagian utama yaitu Hukum Public dan Hukum Privat.
Hukum Publik meliputi (Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara dan Hukum Pidana). Hukum Privat meliputi (Hukum Sipil /Perdata dan Hukum Dagang).


II.Sistem Hukum Anglo – Saxon (Anglo- Amerika)
Sistem hukum ini bersumber pada putusan- putusan Hakim/Putusan Pengadilan atau Yurisprudensi.
Kebiasaan – kebiasaan dan peraturan hukum tertulis yang berupa Undang undang dan peraturan administrasi Negara diakui juga, karena pada dasarnya terbentuknya kebiasaan dan peraturan tertulis tersebut bersumber dari putusan pengadilan.yang tidak tersusun secara sistematis dalam kodifikasi  sehingga hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang suda ada dari perkara- perkara sejenis (azas doctrine of precedent). Tetapi klau dalam putusan terdahulu tidak ditemukan prinsip hukum yang dicara, Hakim berdasarkan prinsip keadilan,kebenaran,dan akal sehat apat memutuskan perkara dengan menggunakan metode penafsiran hukum.

III.Sistem Hukum Adat.
 Sistem Hukum Adat umumnya bersumber dari peraturan peraturan Hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang serta dipertahankan berdasarkan kesadaran hukum masyarakatnya.Sistem hukum Adat terdapat dan berkembang dilingkungan kehidupan social di Indonesia.
Asal Mula istilah Hukum Adat adalah dari istilah “Adatrecht” yang dikemukakan oleh Snouck Hugronye .(Catatan Kuliah……………Bp. Wirawan)
Sifat Hukum adat adalah tradisional dengan berpangkal pada kehendak nenek moyang. Tolok Ukur keingan yang kan dilakukan oleh manusia adalah kehendak suci dari nenek moyang. Hukum Adat berubah – ubah karea pengaruh kejadian dan keadaan social yang silih berganti karenanya hukum adat elastic sifatnya.Dan karena sumberya tidak tertulis , hukum adat tidak kaku dan mudah menyesuaikan diri.


Sistem Hukum Adat di Indonesia dibagi dalam 3 kelompok yaitu;
A.Hukum Adat mengenai Tata Negara; yaitu tatanan yang mengatursusunan dan ketertiban dalam persekutuan – persekutuan hukum,serta susunan dan lingkungan kerja alat – alat perlengkapan jabatan – jabatan dan pejabatnya.
B.Hukum  Adat Mengenai Warga (Hukum Warga) meliputi (Hukum Pertalian Sana/Kekerabatan,Hukum Tanah,Hukum Perutangan)
C.Hukum Adat mengenai Delik (Hukum Pidana).
Yang berperan dalam menjalankan Sistem Hukum Adat adalah;Pemuka Masyarakat Adat, Masyarakat Adat dan Lingkungan Adat.

IV.Sistem Hukum Islam.
Terdiri dari 2 bidang Hukum yaitu:
1.Hukum Rohaniah/Ibadah, ialah cara- cara menjalankan upacara tetang kebaktian terhadap Tuhan Yang Esa (Sholat,Puasa,Zakat,Ibadah Hajai)
2. Hukum Duniawi terdiri dari:
a.Muamalat, yaitu tata tertib hukum dan peraturan mengenai hubungan antara manusia dalam bidang jual beli, sewa-menyewa,perburuhan,Hukum tanah,perikatan,hak milik,hak kebendaan dan hubungan ekonomi pada umumnya.
b.Nikah,yaitu perkawinan dalam arti membentuk sebuah keluarga yang terdiri dari syarat – syarat, hak dan kewajiban dan akaibat – akibat hukum perkawinan.
c. Jinayat,yaitu hukum Pidana yang meliputi acaman hukuman dan tindak pidana kejahatan.