Sabtu, 25 Februari 2012

Perkawinan menurut Hukum Adat Bali

Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali
Oleh;Yuli Utomo

             Pendahuluan
Umat Hindu mempunyai tujuan hidup yang disebut Catur Purusa Artha yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Hal ini tidak bisa diwujudkan sekaligus tetapi secara bertahap.

Tahapan untuk mewujudkan empat tujuan hidup itu disebut dengan Catur Asrama. Pada tahap Brahmacari asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mendapatkan Dharma. Grhasta Asrama memprioritaskan mewujudkan artha dan kama. Sedangkan pada Wanaprasta Asrama dan Sanyasa Asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mencapai moksa.
Perkawinan atau Wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup Grhasta Asrama. Tugas pokok dari Grhasta Asrama menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut "Yatha sakti Kayika Dharma" yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma. Jadi seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma dalam kehidupan ini. Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus benar-benar disiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan.Dalam perkawinan ada dua tujuan hidup yang harus dapat diselesaikan dengan tuntas yaitu mewujudkan artha dan kama yang berdasarkan Dharma.
Pada tahap persiapan, seseorang yang akan memasuki jenjang perkawinan amat membutuhkan bimbingan, khususnya agar dapat melakukannya dengan sukses atau memperkecil rintangan-rintangan yang mungkin timbul. Bimbingan tersebut akan amat baik kalau diberikan oleh seorang yang ahli dalam bidang agama Hindu, terutama mengenai tugas dan kewajiban seorang grhastha, untuk bisa mandiri di dalam mewujudkan tujuan hidup mendapatkan artha dan kama berdasarkan Dharma.
Undang-Undang R.I. No. 1/1974 pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha Esa.

Akta Perkawinan, Sesuai dengan Undang-Undang No. 1/1974 pasal 2, Akta Perkawinan itu dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Di Daerah Kabupaten yang kecil, pejabat catatan sipil kadang-kadang dirangkap oleh Bupati atau didelegasikan kepada Kepala Kecamatan. Jadi tugas catatan sipil disini bukanlah “mengawinkan” tetapi mencatatkan perkawinan itu agar mempunyai kekuatan hukum.
UU Perkawinan no 1 th 1974, sahnya suatu perkawinan adalah sesuai hukum agama masing-masing. Jadi bagi umat Hindu, melalui proses upacara agama yang disebut “Mekala-kalaan” (natab banten), biasanya dipuput oleh seorang pinandita. Upacara ini dilaksanakan di halaman rumah (tengah natah) karena merupakan titik sentral kekuatan “Kala Bhucari” sebagai penguasa wilayah madyaning mandala perumahan. Makala-kalaan berasal dari kata “kala” yang berarti energi. Kala merupakan manifestasi kekuatan kama yang memiliki mutu keraksasaan (asuri sampad), sehingga dapat memberi pengaruh kepada pasangan pengantin yang biasa disebut dalam “sebel kandel”.
Dengan upacara mekala-kalaan sebagai sarana penetralisir (nyomia) kekuatan kala yang bersifat negatif agar menjadi kala hita atau untuk merubah menjadi mutu kedewataan (Daiwi Sampad). Jadi dengan mohon panugrahan dari Sang Hyang Kala Bhucari, nyomia Sang Hyang Kala Nareswari menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih.
Jadi makna upacara mekala-kalaan sebagai pengesahan perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai, berupa sukla (spermatozoa) dari pengantin laki dan wanita (ovum) dari pengantin wanita.Setelah upacara mekala-kalaan selesai dilanjutkan dengan cara membersihkan diri (mandi) hal itu disebut dengan "angelus wimoha" yang berarti melaksanakan perubahan nyomia kekuatan asuri sampad menjadi daiwi sampad atau nyomia bhuta kala Nareswari agar menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih agar harapan dari perkawinan ini bisa lahir anak yang suputra.Setelah mandi pengantin dihias busana agung karena akan natab di bale yang berarti bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Selanjutnya pada hari baik yang selanjutnya akan dilaksanakan upacara Widhi Widana (aturan serta bersyukur kepada Hyang Widhi). Terakhir diadakan upacara pepamitan ke rumah mempelai wanita

Tujuan Perkawinan / Wiwaha
  1. Tujuan pokok perkawinan adalah terwujudnya keluarga yang berbahagia lahir bathin. Kebahagiaan ini ditunjang oleh unsur-unsur material dan non material.
  2. Unsur material adalah tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan/ perumahan (yang semuanya disebut Artha).
  3. Unsur non material adalah rasa kedekatan dengan Hyang Widhi (yang disebut Dharma), kepuasan sex, kasih sayang antara suami-istri-anak, adanya keturunan, keamanan rumah tangga, harga diri keluarga, dan eksistensi sosial di masyarakat (yang semuanya disebut Kama).
Tujuan Perkawinan / Wiwaha menurut Manavadharmasastra :
  1. Dharmasampati yang berarti bahwa pernikahan merupakan salah satu dharma yang harus dilaksanakan sebagai umat Hindu sesuai dengan ajaran Catur Ashrama, sehingga pasangan suami istri melaksanakan: Dharmasastra, Artasastra, dan Kamasastra. Jika dikaitkan dengan Catur Purusaarta, maka pada masa Grhasta manusia Hindu telah melaksanakan Tripurusa, yaitu Dharma, Artha, dan Kama. Purusa keempat (Moksa) akan sempurna dilaksanakan bila telah melampaui masa Grhasta yaitu Wanaprasta dan Saniyasin. Melalui pernikahan ini juga kedua mempelai diberikan jalan untuk dapat melaksanakan dharma secara utuh seperti dharma seorang suami atau istri, dharma sebagai orang tua, dharma seorang menantu, dharma sebagai ipar, dharma sebagai anggota masyarakat sosial, dharma sebagai umat, dll.
  2. Praja yang berarti bahwa pernikahan bertujuan untuk melahirkan keturunan yang akan meneruskan roda kehidupan di dunia. Tanpa keturunan, maka roda kehidupan manusia akan punah dan berhenti berputar. sehingga Pernikahan / pawiwahan sangat dimuliakan karena bisa memberi peluang kepada anak/ keturunan untuk melebur dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma kembali sebagai manusia. Dari perkawinan diharapkan lahir anak keturunan yang dikemudian hari bertugas melakukan Sraddha Pitra Yadnya bagi kedua orang tuanya sehingga arwah mereka dapat mencapai Nirwana. Sebagai orang tua, suami-istri diwajibkan memberikan bimbingan dharma kepada semua keturunan agar mereka kelak dapat meneruskan kehidupan yang harmonis, damai, dan sejahtera. Anak keturunan merupakan kelanjutan dari kehidupan atau eksistensi keluarga. Anak dalam Bahasa Kawi disebut “Putra” asal kata dari “Put” (berarti neraka) dan “Ra” (berarti menyelamatkan). Jadi Putra artinya: “yang menyelamatkan dari neraka”. Suatu kekeliruan istilah di masyarakat dewasa ini, bahwa anak laki-laki dinamakan putra dan anak perempuan dinamakan putri; melihat arti putra seperti di atas, maka putri tidak mempunyai makna apa-apa karena “ri” tidak ada dalam kamus Bahasa Kawi. Pandita berpendapat lebih baik anak perempuan dinamakan Putra Istri, bukannya putri.
  3. Rati yang berarti pernikahan adalah jalan yang sah bagi pasangan mempelai untuk menikmati kehidupan seksual dan kenikmatan duniawi lainnya. Merasakan nikmat duniawi secara sah diyakini akan dapat memberikan ketenangan batin yang pada akhirnya membawa jiwa berevolusi menuju spiritualitas yang meningkat dari waktu kewaktu. Kedua mempelai diharapkan dapat membangun keluarga yang sukinah (selalu harmonis dan berbahagia), laksmi (sejahtera lahir batin), siddhi (teguh, tangguh, tegar, dan kuat menghadapi segala masalah yang menerpa), dan dirgahayu (pernikahan berumur panjang dan tidak akan tercerai berai). Hal ini sesuai dengan mantra yang seringkali kita lantunkan dalam puja bhakti sehari hari: “Om Sarwa Sukinah Bhawantu. Om Laksmi, Sidhis ca Dirgahayuh astu tad astu swaha”.
 Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Dalam kitab suci Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan
“Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wang juga wenang gumaweakenikang subha asubha karma, kunang panentasakena ring subha karma juga ikang asubha karma pahalaning dadi wang”
artinya:
dari demikian banyaknya semua mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat baik atau buruk. Adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia.

Berkait dengan sloka tersebut, karma hanya dengan menjelma sebagai manusia, karma dapat diperbaiki menuju subha karma secara sempurna. Melahirkan anak melalui perkawinan dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Lebih-lebih lagi kalau anak itu dapat dipelihara dan dididik menjadi manusia suputra, akan merupakan suatu perbuatan melebihi seratus yadnya, demikian disebutkan dalam Slokantara.

Keluarga yang berbahagia kekal abadi dapat dicapai bilamana di dalam rumah tangga terjadi keharmonisan serta keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, masing-masing dengan swadharma mereka. Keduanya (suami-istri) haruslah saling isi mengisi, bahu membahu membina rumah tangganya serta mempertahankan keutuhan cintanya dengan berbagai “seni” berumah tangga, antara lain saling menyayangi, saling tenggang rasa, dan saling memperhatikan kehendak masing-masing. Mempersatukan dua pribadi yang berbeda tidaklah gampang, namun jika didasari oleh cinta kasih yang tulus, itu akan mudah dapat dilaksanakan.



Perkawinan/Wiwahadalam Manavadharmasastra  dianggap sah menurut Hukum Hindu bila :
a.       Brahma Wiwaha : Pemberian seorang gadis setelah terlebih dulu dirias (dengan pakian yang maha) dan setelah menghormati (dengan menghadiahi permata) kepada seorang yang ahli dalam Veda, lagi pula budi bahasanya yang baik, yang diundang (oleh ayah ayah si wanita) disebut acara “Brahma Wiwaha”
b.      Daiwa Wiwaha : Pemberian seorang anak wanita yang setelah terlebih dahulu dihias dengan perhiasan-perhiasan kepada seorang pendeta yang melaksanakan upacara pada saat upacara itu berlangsung disebut acara “Daiwa Wiwaha”
c.       Arsa Wiwaha : Kalau seorang ayah mengawinkan anak perempuannya sesuai dengan peraturan setelah menerima seekor sapi atau seekor atau dua pasang lembu dari penganten pria untuk memenuhi peraturan dharma, disebut secara “Arsa Wiwaha”
d.      Prajapati Wiwaha : Pemberian seorang anak perempuan (oleh ayah si wanita) setelah berpesan kepada mempelai dengan mantra “semoga kamu berdua melaksanakan kewajiban-kewajiban bersama-sama”. Dan setelah menunjukan penghormatan (kepada penganten pria), perkawinan ini dalam kitab Smerti dinamai acara perkawinan “Prajapati”
e.       Asura Wiwaha : Kalau penganten pria menerima seorang perempuan setelah pria itu memberingas kawin sesuai menurut kemampuannya dan didorong oleh keinginananya sendiri kepada mempelai wanita dan keluarganya, cara ini dinamakan perkawinan “Asura”
f.       Gandharma Wiwaha : Pertemuan suka sama suka antara seorang perempuan dengan kekasihnya yang timbul dari nafsunya dan melakukan perhubungan kelamin dinamakan perkawinan”Gandharwa”
g.      Raksasa Wiwaha : Melarikan seoranag gadis dengan paksa dari rumahnya dimana wanita berteriak-teriak menangis setelah keluarganya terbunuh atau terluka, rumahnya dirusak, dinamakan perkawinan “Raksasa”
h.      Paisca Wiwaha : Kalau seorang laki-laki dengan cara mencuri-curi memperkosa seorang wanita yang sedang tidur, sedang mabuk atau bingung, cara demikian adalah perkawinan “Paisca” yang amat rendah dan penus dosa.[1]
Didalam Hukum Adat Bali ada 4 sistem perkawinan :
a.      Sistim Mapadik/Meminang/Meminta
Pihak calon suami meminta datang kerumah calon istri untuk mengadakan perkawinan;
b.      Sistim Ngerorod/Rangkat (kawin lari):
Bentuk perkawinan cinta sama cinta berjalan berdua/beserta keluarga laki secara resmi tak diketahui keluarga perempuan.
c.       Sistim Nyentana/Nyeburin (selarian):
Bentuk perkawinan berdasarkan perubahan status sebagai purusa dari pihak wanita dan sebagai pradana dari pihak laki.
d.      Sistim Melegandang/secara paksa tanpa rasa cinta:
Bentuk perkawinan secara paksa tidak didasarkan cinta sama cinta [2]
Menurut Wayan P.Windia, dikutip dari makalah Perempuan Bali, Warisan dan Kawin Pada Gelahang, Perkawina di Bali dibagi beradasarkan :
·         Bentuk Pekawinan :
-          Perkawinan Biasa.
-          Perkawinan Nyentana/Nyeburin.
-          Perkawinan Matunggu
-          Perkawinan Paselang.
-          Perkawinan Pada Gelahang
Perkawinan Pada Gelahang adalah “perkawinan yang dilangsungkan sesuai ajran agama Hindu dan hukum adat Bali yang tidak termasuk perkawinan biasa (‘kawin ke luar’) dan juga tidak termasuk perkawinan nyentana (‘kawin ke dalam’), melainkan suami dan istri tetap berstatus ke purusa dirumahnya masing-masing, sehingga harus mengemban dua tanggung jawab (swadharma).








Kesimpulan :
-Perkawinan atau Wiwaha di dalam Agama Hindu adalah yadnya atau perbuatan Dharma.
-Merupakan upaya untuk mewujudkan suatu kehidupan/ kemampuan sendiri melakukan Dharma.
-Memberi kesempatan kepada Leluhur  untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya.
-Didalam masyarakat  Adat Hindu Bali  menerapkan 5 bentuk (Perkawinan Biasa,Perkawinan Nyentana,Perkawinan Matunggu,Perekawinan Paselang dan Perkawinan Gelahang). Sedangkan menurut Kitab Manawa Dharmasastra terdapat 8 bentuk perkawinan.




[1] Gede Pudja, M.A Dan Tjokorda Rai Sudharta M.A, Manava Dharmasastra, Paramita, Surabaya, (MDS.III.27 s/d 34)
[2] Ida Bagus Anom, Perkawinan Menurut Adat Agama Hindu, Cet, CV Kayumas Agung, Denpasar, 2010

Selasa, 21 Februari 2012

Pedagang Kaki Lima dan Kebijakan Publik.

Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu sektor informal yang dominan di daerah perkotaan, sebagai wujud kegiatan ekonomi skala kecil yang menghasilkan dan atau mendistribusikan barang dan jasa. Barang-barang yang dijual yaitu barang-barang convenience (berkatagori menyenangkan) seperti makanan hingga souvenir. PKL menjajakan dagangannya berkeliling atau mengambil tempat di trotoar dan emper toko.
PKL, seperti halnya kegiatan informal, memiliki ciri-ciri yaitu (Buchari Alma, 1992: 1390): tidak terorganisasi secara baik, tidak memiliki ijin usaha yang sah, pola kegiatan tidak teratur (tidak ada jam kerja), usahanya tidak kontinyu (mudah berganti usaha ), modal usaha relatif kecil (barang dagangan milik sendiri ataupun milik orang lain), teknologi yang digunakan sangat sederhana, dan umumnya tingkat pendidikan rendah).
PKL tumbuh tidak terencana dan memiliki keragaman dalam bentuk maupun jasa pelayanannya. Perkembangan itu tidak pernah terhenti sejalan dengan pertumbuhan perkembangan penduduk. Pertumbuhan tersebut demikian pesat, terlebih lagi menyusul krisis ekonomi melanda Indonesia sejak medio tahun 1997.
Pertumbuhan PKL yang demikian pesat tersebut berdampak positif dan negatif. Positif, karena dapat menjadi sumber bagi pendapatan asli daerah, dapat menjadi alternatif untuk mengurangi pengangguran, dan dapat melayani kebutuhan masyarakat khususnya bagi golongan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Sebailiknya, pertumbuhan PKL yang sangat pesat setelah masa krisis ekonomi menjadi tidak terkendali. Hal itu dapat menjadi penghalang bagi visi pemerintah kota (Kota Madya Denpasar) untuk mewujudkan ketertiban umum dan muncul fenomena sosial lain yaitu potensi konflik antar-PKL maupun dengan kelompok-kelompok preman yang menguasai lokasi kaki lima.
Masalahnya adalah bagaimana pemerintah kota memandang hal itu dan membuat kebijakan-kebijakan yang tepat untuk meningkatkan taraf hidup para PKL yang sebagian besar miskin, dan sekaligus menegakkan hukum bagi pengendalian dan pengaturan tata kota.
Sumber : diadaptasi dari Hessel Nogi S. Tangkilisan, 2004: 163-170.
1.            Proses perumusan kebijakan publik
Upaya mengatasi pedagang kaki lima potensi pembangunan ekonomi atau pengganggu ketertiban umum yaitu bagaimana pedagang kaki lima bisa tetap berjalan namun tidak sampai mengganggu ketertiban umum. Menurut Charles Lindblom mengatakan bahwa untuk memahami siapa sebenarnya yang merumuskan kebijakan lebih dahulu harus dipahami sifat-sifat semua pemeran serta bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau bentuk kekuasaan yang mereka miliki dan bagaimana mereka saling berhubungan.  Pemerintah harus berusaha untuk mengatasi permasalahan ini dengan bijak dan terbuka dengan menyadarkan kepada masyarakat baik terhadap pedagang kaki lima itu sendiri maupun konsumennya untuk selalu berusaha mentaati segala aturan yang ada dalam pemerintahan. Kebijakan pemerintah yang harus diambil dalam mengatasi permasalah itu adalah :
a.      Alokasi tempat
         Pemerintah tidak hanya memberikan peringatan kepada pedagang kaki lima saja yang melakukan kesalahan namun juga harus mampu memberikan solusi untuk mengatasi permasalah tersebut salah satunya adalah memberikan lahan atau tempat untuk berjualan kepada pihak pedagang kaki lima.
b.            Sarana dan prasarana
Untuk dapat menjual dagangannya maka pedagang kaki lima harus bisa diberikan sarana dan prasarana yang baik sehingga baik pedagang maupun para pengunjung segan dan menikmati suasana yang menyenangkan sehingga betah dan krasan bisa ada ditempat tersebut.
c.             Adanya peraturan dan larangan
Baik pedagang kaki lima maupun pengunjung tetap harus mentaati peraturan dan larangan yang dibuat oleh pemerintah dengan tujuan untuk pelaksanaan kegiatan dagang dapat berjalan secara teratur, tertib dan tidak sendiri-sendiri.
Negara kita adalah negara hukum sehingga setiap langkah dan kegiatan yang dilakukan oleh manusia atau masyarakat dibatasi dengan hukum dan tidak bisa tanpa batas. Pemerintah atau administrasi negara diberikan kewenangan yang luas untuk melakukan berbagai tindakan hukum dalam rangka melayani kepentingan masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Pemberian kewenangan kepada pemerintah atau administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri lazim disebut dengan istilah “ Fries Ermessen “ atau discretionary power. Pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya (welfare state) harus berusaha untuk menjadikan rakyat menjadi sejahtera.
Sjachran Basah mengemukakan unsur-unsur fries ermessen dalam suatu negara hukum yaitu sebagai berikut :
1.      Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik.
2.      Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara
3.      Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum
4.      Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri
5.      Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang muncul secara tiba-tiba
6.      Sikap tindak itu dapat dipertanggung jawabkan baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum
( Sjachran basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Adminstrasi di Indonesia disunting oleh Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, UII Yogyakarta; 2002, h. 134)
 Kebijakan publik itu sendiri mempunyai arti serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. ( M. Irfan Islamy, Kebijakan Publik, Universitas Terbuka, Jakarta; 2004, h. 20).
Menurut Philipus M, Hadjon, mengatakan bahwa peraturan kebijakan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan “ naar buiten gebracht shireftelijk beleid “ yaitu menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis “ ( Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia, Gajah Mada Press, Yogyakarta; 1993, h. 152).
Dewasa ini sektor informal di daerah perkotaan Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang pesat. Membengkaknya sektor informal mempunyai kaitan dengan berkurangnya sektor formal dalam menyerap pertambahan angkatan kerja di kota. Sedang pertambahan angkatan kerja sebagai akibat migrasi ke kota lebih pesat daripada pertumbuhan kesempatan kerja. Akibatnya terjadi pengangguran terutama di kalangan usia muda dan terdidik, yang diikuti dengan membengkaknya sektor informal. ( Tadjuddin Noer effendi, 1988, h 2).
Jika dibandingkan dengan kegiatan formal perbedaannya adalah :
Karakter
Kegiatan formal
Kegiatan informal
Modal
Teknologi
Organisasi
Kredit

Relatif mudah diperoleh
Padat modal
Birokrasi
Lembaga Keuangan resmi
Sukar diperoleh
Padat karya
Sanak keluarga
Di luar lembaga resmi
Sumber : Buchari Alma, 1992
Masalah pedagang kaki lima perumusan kebijakan publik menggunakan model demokratis dimana pengambilan keputusan harus sebanyak mungkin mengelaborasi suara, menghendaki agar setiap “ pemilik hak demokratis” diikut sertakan sebanyak-banyaknya. Dalam hal memutuskan suatu permasalah dalam hal ini adalah pedagang kaki lima baik pemerintah maupun pedagang dan masyarakat diberikan haknya untuk memberikan saran dan masukan guna mencari solusi yang terbaik dalam pelaksanaannya. Peran serta semua pihak sangat diharapkan karena keberhasilan masalah pedagang kaki lima merupakan masalah bersama dan perlu dipecahkan secara kebersamaan. Setiap permasalahan diusahakan dipecahkan secara musyawarah untuk mencapai kemufakatan namun hal ini peran pemerintah sangat penting dan dominan karena pemerintah sebagai wadah negara dalam membentuk suatu tatanan yang baik dan terencana namun berdasarkan aturan atau peraturan yang telah ditetapkan secara transparan.
Kalau kita lihat perkembangan pedagang kaki lima tidak pernah hentinya dengan pertumbuhan penduduk. Hal ini akan memberikan dampak yang positif maupun dampak yang negatif. Positifnya perdagangan kaki lima dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) bagi pemerintah daerah, dapat berfungsi sebagai alternatif dalam mengurangi jumlah pengangguran serta dapat melayani kebutuhan masyarakat khususnya bagi golongan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Negatifnya adalah dapat menimbulkan masalah dalam pengembangan tata ruang kota seperti gangguan ketertiban umum dan timbulnya kesan penyimpangan terhadap peraturan akibat sulitnya mengendalikan perkembangan sektor informal ini. Masalah sekarang bagaimana pemerintah memandang hal ini dan menurunkan kebijakan-kebijakan yang tepat untuk meningkatkan taraf hidup mereka yang sebagian besar miskin, sekaligus menegakkan hukum bagi pengendalian dan pengaturan tata kota.

 Pedagang Kaki lima merupakan tangung jawab bersama sehingga perlu dipecahkan secara bersama-sama baik pemerintah, pedagang kaki lima, LSM sehingga permasahan yang ada dipecahkan melalui suatu rapat guna mencari solusi yang lebih baik disini peran pedagang kaki lima diberikan haknya untuk memberikan masukan demi jalannya proses pemerintahan dimana apa yang diharapkan pemerintah baik pemerintah daerah untuk memberikan rasa nyaman, tertib dan tata kota tercapai disamping itu pedagang kaki lima juga bisa menikmati serta dapat menjalankan usahanya demi untuk kelangsungan hidupnya.  Permasalahan dibahas kemudian dirumuskan yang terbaik dan setelah ada titik temu maka disahkan oleh pemerintah (wali kota dan DPRD) sebagai pengemban tugas negara dalam menciptakan suasana yang diharapkan yaitu rasa nyaman, tentram, asri dan indah. Dalam model demokratis ini setiap keputusan merupakan hasil bersama dan tidak perorangan maka apabila melanggar maka akan diberikan sanksi yang tegas. Sehingga jelas disini bahwa model ini sangat efektif implementasinya karena setiap pihak mempunyai kewajiban untuk ikut serta mencapai keberhasilan kebijakan karena setiap pihak bertanggung jawab atas kebijakan yang dirumuskan dan bukan merupakan tanggung jawab perorangan.
Harapan dengan penataan yang baik dan benar mampu mengendalikan masalah pedagang kaki lima secara proporsional, dengan tidak melanggar ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang ada, dan sesuai dengan visi dan misi pembangunan Kota yang nyaman bagi penghuninya.
Bentuk perumusan kebijakan Publik berupa Perda (Peraturan darah) yang bertujuan untuk menertibkan pedagang kaki lima.
2.      Aktor-Aktor yang relevan dan peranannya dalam perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan publik tersebut adalah pemerintah daerah (wali kota, DPRD, Dinas tata kota, Satpol PP, Kejaksaan Negeri, Kepolisian Kota Besar, Pengadilan), Masyarakat, Tokoh Agama dan Tokoh masyarakat, Lembaga sosial masyarakat.
         Pemerintah (Wali kota, DPRD, Dinas tata kota, Satpol PP, Kejaksaan negeri, Kepolisian Kota Besar, Pengadilan ) adalah sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan bersama dengan DPRD dalam rangka penertiban pedagang kaki lima dan sebagai pelaksana pentertiban satpol PP
         Masyarakat adalah orang-orang yang ada disekitar dan yang menikmati jalan yang dipakai oleh pedagang kaki lima
         Tokoh agama dan tokoh masyarakat      orang yang dituakan, disegani, dihormati.
         LSM adalah lembaga yang bergerak di bidang sosial masyarakat
         SatPol PP adalah satuan polisi pamong praja yang melakukan pentertiban
         Kepolisian, Kejaksaan dan pengadilan bertugas apabila sudah terjadi penindakan dan dilanjutkan dalam penyidikan sampai ke persidangan
         Dinas Tata Kota adalah memberikan sarana dan petunjuk serta plafon larangan yang ditempatkan di tempat-tempat trotoar.
Untuk menanggulangi persoalan pedagang kaki lima dan masalah lain yang berkaitan dengan ketertiban umum maka pemerintah melakukan kebijakan sosialisasi rencana tata kota yang pokoknya adalah membangun kota yang berbasis masyarakat; pengembangan lingkungan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan; pengembangan kota sebagai kota jasa skala nasional maupun internasional.
3.      Produk Hukum yang cocok sebagai formulasi kebijakan Publik tersebut dan implementasinya adalah Peraturan daerah
Dengan ketentuan apabila ada pedagang kaki lima yang melakukan pelanggaran ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang ada, dan tidak sesuai dengan visi dan misi pembangunan kota yang nyaman bagi penghuninya karena merupakan barometer penilaian atas kinerja pemerintah kota dalam menata kota yang ada di Indonesia maka perlu ditegakkan hukum sesuai dengan peraturan daerah dengan melakukan upaya tindakan tegas dengan diberikan sanksi. Pelaksana adalah Satpol PP.
Bahan Bacaan.

M. Irfan Islamy, Kebijakan Publik, Universitas Terbuka, Jakarta; 2004, h. 20
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia, Gajah Mada Press, Yogyakarta; 1993, h. 152
Riant Nugroho Dwijowijoto, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Penerbit PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Jakarta, H. 125-126

Jumat, 17 Februari 2012

Bacaan Tentang HAM

 Sejarah Perkembangan  Hak Asasi Manusia
Oleh : Asri Wijayanti [1]


[1] Dosen FH Univ. Muhamamdiyah Surabaya
Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,  merupakan bagian dari prinsip perlindungan hukum.  Istilah hak asasi manusia di Indonesia, sering disejajarkan dengan istilah hak- hak kodrat, hak-hak dasar manusia. natural rights, human rights, fundamental rights, gronrechten, mensenrechten, rechten van den mens dan fundamental rechten Menurut Philipus M Hadjon, di dalam hak (rights), terkandung adanya suatu tuntutan (claim).[2]  Pengertian hak asasi manusia berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia
Perkembangan konsep hak asasi manusia ditelusuri secara historis berawal dari dunia Barat dimulai dari abad XVII sampai dengan abad XX. 
Pada abad XVII, hak asasi manusia berasal dari hak kodrat (natural rights) yang mengalir dari hukum kodrat (natural law). Dua hak yang sangat ditonjolkan adalah kebebasan politik (political freedom) dan hak untuk ada (rights to be). Hal ini dipengaruhi keadaan masa sebelumnya dalam kehidupan bernegara yang  absolut. Pada abad XVIII, hak kodrat dirasionalkan melalui konsep kontrak sosial dan mebuat hak tersebut menjadi sekular, rational, universal, individual demokratik dan radikal. Dua hak yang sangat ditonjolkan adalah kebebasan sipil (civil libertis) dan hak untuk memiliki (rights to have). Pada abad XIX masuk pemikiran sosialisme yang lebih memberikan penekanan pada masyarakat (society). Pada masa ini lahir fungsi sosial dan hak-hak individu.  Dua hak yang sangat ditonjolkan adalah hak untuk berpartisipasi (participation rights) dan hak untuk berbuat (rights to do). Pada abad XX ditandai dengan usaha untuk mengkonversikan hak-hak individu yang sifatnya kodrat menjadi hak-hak hukum (form natural human rights into positive legal rights). Saat itu lahirlah The Universal Declaration of Human Rights. Hak yang meonjol pada abad ini adalah hak-hak sosial ekonomi (sosial economic rights) dan hak untuk mendapatkan sesuatu (rights to receive). Hal ini digambarkan oleh Philipus M Hadjon, sebagai berikut [3] :


Abad XVII
Abad XVIII
Abad XIX
Abad XX
Hak-hak asasi manusia bersumber dari hak-hak kodrat yang mengalir dari hukum kodrat

Hak-hak kodrat dirasionalkan dalam kontrak sosial
Ditambah dukungan etik dan utilitarian dan munculnya paham sosialisme
Konversi hak-hak asasi manusia yang sifatnya kodrat menjadi hak-hak hukum (positip)
Hak-hak politik
Kebebasan sipil
Individualisme kuantitatif

Hak-hak partisipasi
Individualisme kualitatif
Hak-hak sosial (sosiale grondrechten)

Pemikiran konsep hak asasi manusia, secara umum menurut Philipus M Hadjon,
dibedakan dalam tiga kelompok, berdasarkan ide/ gagasan yaitu political and ideological thought yaitu Barat, sosialis dan dunia ketiga. Yang dikelompokkan dalam pemikiran barat meliputi Eropa Barat, amerika Serikat, Kanada, Aistralia, New Zealan, sebagian Amerika Latin yang dipengaruhi pemikiran Barat, dan Jepang (dari segi ekonomi).  Kelompok sosialis meliputi negara sosialis di Eropa timur, Kuba, Yugoslavia. Selain itu ada kelompok dunia ketiga yang tidak mempunyai kesatuan ideologi, misalnya India dan Indonesia. [4]
Berkaitan dengan konsepsi hak asasi manusia di Barat disebutkan oleh Philipus M Hadjon, bahwa
hak asasi manusia bersumber pada hak-hak kodrat (natural rights/ jus naturalis) yang mengalir dari hukum kodrat dan telah mengalami proses perkembangan yang panjang sejak abad XVII hingga abad XX.  Konsep hak asasi manusia pada abad XX merupakan sintesis dari tesis abad XVIII dan antitesis abad XIX.

Tesis abad XVIII : hak asasi manusia tidaklah ditasbihkan secara ilahi (divinely ordained) juga tidak dipahami secara ilahi (divinely conceived); hak-hak itu adalah pemberian Allah sebagai konsekuensi dari manusia adalah ciptaan Allah. Hak-hak itu sifatnya kodrati (natural) dalam arti :
-          kodratlah yang menciptakan dan mengilhami akal budi dan pendapat manusia;
-          setiap orang dilahirkan dengan hak-hak tersebut;
-          hak-hak itu dimiliki manusia dalam keadaan alamiah (state of nture) dan kemudian dibawanya dalam hidup bermasyarakat. Sebelum adanya pemerintah individu itu otonom dan berdaulat, oleh karenanya tetap  berdaulat di bawah setiap pemerintah karena kedaulatan tidak dapat dipindahkan (inalienable) dan adanya pemerintah hanya atas persetujuan dari yang diperintah.

Antitesis abad XIX : pertama masuknya dukungan etik dan utilitarian, kedua pengaruh sosialisme yang lebih mengutamakan masyarakat atau kelompok daripada individu, bahwa keselamatan individu hanya dimungkinkan dalam keselamatan kelompok atau masyarakat.

Sintesis abad XX : pertama , abad XX menjembatani hukum kodrat dan hukum positif yaitu dengan menjadikan hak-hak kodrat sebagai hak-hak hukum posistif ( positive legal rights); kedua mengawinkan penekanan pada individu (yang sifatnya otonom dan memiliki kebebasan) dengan penekanan (sosialisme) pada kelompok serta penekanan kesejahteraan sosial dan ekonomi untuk semua, mengawinkan pandangan pemerintah sebagai ancaman bagi kebebasan dengan pandangan terhadap pemerintah sebagai alat yang dibutuhkan untuk memejukan kesejahteraan bersama. Salah satu aspek dari sintesis ini adalah pandangan atas hak kebebasan dan persamaan : kalau abad XVIII lebih mengedepankan hak atas kebebasan, dan abad XIX lebih mengedepankan pada asas persamaan sehingga hak atas persamaan berada di atas hak atas kebebasan, maka bad XX  menerima kedua hak tersebut (hak atas kebebasan dan persamaan) sebagai hak dasar (basic rights).

Dalam konteks ini, abad XVII merupakan titik awal atau peletak dasar dari konsep tentang hak karena sebelumnya (abad XVI) yang mengedepan adalah kewajiban. Mengedepannya konsep kewajiban pada abad XVI karena dibutuhkan untuk membatasi kekuasaan hawa nafsu.[5]

Selanjutnya pemikiran konsep sosialis mengenai  hak asasi manusia, bersumber pada ajaran Karl Marx dan Engels.
Sosialisme tidak  menekankan hak terhadap masyarakat, tetapi justru menekankan kewajiban pada masyarakat. Mendahulukan kemajuan ekonomi dari pada hak-hak sipil dan poliotik, mendahulukan kesejahteraan daripada kebebasan. Hak-hak asasi bukanlah bawaan kodrat manusia, tetapi hak setiap warga negara yang bersumber dari negara. Negaralah yang menetapkan apa yang menjadi hak. Bagi blok Rusia, setiap usaha dalam rangka perlindungan hak asasi manusi ayang melanggar batas wilayah negara adalah intervensi. Bagi blok Amerika, yang kerangka berpikirnya bersumber dari hukum kodrat, menganggap setiap usaha dalam rangka perlindungan tehadap hak-hak asasi manusia dimanapun adalah tugas suci dan mulia. [6]

Perbandingan konsep hak asasi manusia dalam tiga kelompok yaitu berdasar konsep Barat, konsep sosialis dan konsep negara-negara dunia ketiga. Hal ini digambarkan oleh Philipus M Hadjon, sebagai berikut :[7]



Uraian
Konsep Barat
Konsep Sosialis
Konsep Dunia III
Sumber
Natural rights, yang mengali dari natural law yang telah berkembang sejak dari abad XVII hingga dewasa ini
Ajaran Karl Marx
Terbagi atas tiga kelompok :
1. Yang dipengaruhi oleh konsep Barat
2. Yang dipengaruhi oleh konsep sosialis
3. Yang mempunyai konsep sendiri, misalnya : India dan Indonesia.
Isi
Menekankan hak individu dengan meletakkan kewajiban pada masyarakat dan negara
Menekankan kewajiban terhadap negara

Konsep hak asasi manusia di India, mendasarkan pada surat Mahatma Ghandi tentang hak asasi manusia kepada Direktur Jendral UNESCO di Paris tanggal 25 Mei 1947, yaitu :
Segala hak individu yang patut memperoleh pengakuan dan dimiliki dengan sah serta mendapat perlindungan ialah yang timbul dari kewajiban atau tugas yang dilaksankan dengan baik. Hak-hak tersebut meliputi 10 macam hak yang terbagi atas 5 hak yang termasuk kategori hak-hak sosial da 5 hak yang termasuk kategori hak-hak perseorangan. Hak-hak sosial meliputi : ahimsa (freedom from violence), asteya (freedom from wants), aparigraha (freedom from exploitation), avyabhicara (freedom from violation or dishonour), armitawa dan arogya (freedom from early dead and disease). Hak-hak perorangan meliputi : akredha ( absence of intolerance), bhutadaya atau astreha (compassion or fellow feeling), jnana vidya (knowledge), satya atau sunrta (freedom of thought and conscience), pravtti atau abhaya atau dhrti (freedom from fear and frustation or de spair)[8]

Indonesia merupakan contoh dari kelompok konsep dunia  ketiga yang tidak ikut dalam perumusan The Universal Declaration of Human Rights tanggal 10 Desember 1948.  The Universal Declaration of Human Rights merupakan suatu deklarasi yang tidak memiliki watak hukum. Kekuatan mengikatnya karena ada pengakuan terhadap deklarasi itu oleh sistem hukum bangsa-bangsa beradab atau mendapat kekuatan dari hukum kebiasaan setelah memeuhi dua syarat yaitu keajegan dalam kurun waktu yang lama dan adanya opinion necesitatis.[9] Konsep hak asasi manusia bagi bangsa Indonesia telah dirumuskan dalam Undang – Undang Dasar 1945. Perumusannya belum diilhami oleh The Universal Declaration of Human Rights karena terbentuknya lebih awal. Dengan demikian rumusan HAM dalam UUD’45 merupakan pikiran-pikiran yang didasarkan kepada latar belakang tradisi budaya kehidupan masyarakat Indonesia sendiri[10] .
Perkembangan konsep hak asasi manusia di dunia internasional secara umum dibedakan dalam tiga generasi yaitu generasi I dengan penekanan hak sipil dan politik, generasi II dengan penekanan hak sosial ekonomi dan budaya serta generasi ketiga yang melahirkan hak pembangunan.

Konsepsi hak asasi manusia Hak-hak Sipil dan Politik (Generasi I)

Hak-hak bidang sipil mencakup, antara lain :
  1. Hak untuk menentukan nasib sendiri
  2. Hak untuk hidup
  3. Hak untuk tidak dihukum mati
  4. Hak untuk tidak disiksa
  5. Hak untuk tidak ditahan sewenang-wenang
  6. Hak atas peradilan yang adil
Hak-hak bidang politik, antara lain :
  1. Hak untuk menyampaikan pendapat
  2. Hak untuk berkumpul dan berserikat
  3. Hak untuk mendapat persamaan perlakuan di depan hukum
  4. Hak untuk memilih dan dipilih

Hak-hak Sosial, Ekonomi dan Budaya (Generasi II)

Hak-hak bidang sosial dan ekonomi, antara lain :
  1. Hak untuk bekerja
  2. Hak untuk mendapat upah yang sama
  3. Hak untuk tidak dipaksa bekerja
  4. Hak untuk cuti
  5. Hak atas makanan
  6. Hak atas perumahan
  7. Hak atas kesehatan
  8. Hak atas pendidikan
Hak-hak bidang budaya, antara lain :
  1. Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan
  2. Hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan
  3. Hak untuk memperoleh perlindungan atas hasil karya cipta (hak cipta)

Hak Pembangunan (Generasi III)

Hak-hak bidang pembangunan, antara lain :
  1. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat
  2. Hak untuk memperoleh perumahan yang layak
  3. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai[11]
Berbeda dengan pendapat Jimly Asshiddiqie yang membedakan perkembangan konsep hak asasi manusia dalam lima generasi. Jimly Asshiddiqie menyebut Generasi I dan II sebagai generasi II, sedangkan generasi I mulai ditandatanganinya Piagam PBB sampai dengan tahun 1966.
Generasi Pertama, dimulai dari persitiwa penandatanganan naskah Universal Declaration of Human oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 setelah sebelumnya ide-ide perlin­dungan hak asasi manusia itu tercantum dalam naskah-naskah bersejarah di beberapa negara, seperti di Inggris dengan Magna Charta dan Bill of Rights, di Amerika Serikat dengan Declaration of Indepen­dence, dan di Perancis dengan Decla­ration of Rights of Man and of the Citizens. Dalam konsepsi generasi pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.

Generasi Kedua, dimulai dari persitiwa penandatanganan International Couvenant on Civil and Political Rights dan  International Couvenant on Eco­nomic, Sosial and Cultural Rights (Ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum 2200 A (III) tertanggal 16 Desember 1966)

Generasi Ketiga, tahun 1986, muncul konsepsi baru hak asasi manusia yaitu mencakup pengertian mengenai hak untuk pembangunan atau rights to development. Hak atas atau untuk pembangunan ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut. Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil pemba­ngunan tersebut, menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya.

Generasi I, II, dan III pada pokoknya mempunyai karakteristik dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, antara rakyat dan peme­rintahan dalam suatu negara. Setiap pelanggaran selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa dikategorikan sebagai crime by government yang termasuk ke dalam pengertian political crime (kejahatan politik) sebagai lawan dari pengertian crime against government (kejahatan terhadap kekuasaan resmi). Sasaran perjuangan hak asasi manusia adalah kekuasaan represif negara terhadap rakyatnya.

Generasi Keempat, mempunyai sifat hubungan kekuasaan dalam konsepsi yang bersifat horizontal. Hal ini dipengaruhi adanya fenomena :
Pertama, fenomena konglo­merasi berbagai perusahaan berskala besar dalam suatu negara yang kemudian berkembang menjadi Multi National Corporations (MNC’s) atau disebut juga Trans-National Corpo­rations (TNC’s) dimana-mana di dunia. Hubungan kekuasaan yang dipersoalkan dalam hal ini adalah antara produsen dan konsumen.
Kedua, memunculkan fenomena Nations without State, seperti bangsa Kurdi yang tersebar di berbagai negara Turki dan Irak; bangsa Cina Nasionalis yang tersebar dalam jumlah yang sangat besar di hampir semua negara di dunia; bangsa Persia (Iran), Irak, dan Bosnia.
Ketiga,  fenomena berkem­bangnya suatu lapisan sosial tertentu dalam setiap masya­rakat di negara-negara yang terlibat aktif dalam pergaulan internasional, yaitu kelompok orang yang dapat disebut sebagai global citizens, dikalangan diplomat dan pekerja atau pengusaha asing. Sebagai contoh, di setiap negara, terdapat apa yang disebut dengan diplo­matic shop yang bebas pajak, yang secara khusus melayani kebutuhan para diplomat untuk berbe­lanja.
Keempat, fenomena berkem­bangnya corporate federalism sebagai sistem yang mengatur prinsip representasi politik atas dasar pertimbangan-pertimbangan ras tertentu ataupun pengelom­pokan kultural penduduk. Pem­bagian kelompok English speaking community dan French speaking community di Kanada, kelompok Dutch speaking community dan German speaking community di Belgia, dan prinsip representasi politik suku-suku tertentu dalam kamar parlemen di Austria, dapat disebut sebagai corporate federalism dalam arti luas. Kelompok-kelompok etnis dan kultural tersebut diperlakukan sebagai suatu entitas hukum tersendiri yang mempunyai hak politik yang bersifat otonom dan karena itu berhak atas representasi yang demo­kratis dalam institusi parlemen.

Generasi kelima dengan ciri pokok yang terletak dalam pemahaman mengenai struk­tur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen yang memiliki segala potensi dan peluang untuk melakukan tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil.[12]

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pembagian perkembangan konsepsi HAM berbeda diantara ahli hukum, tergantung dari sudut pandangnya masing-masing. Hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut :

Kriteria
      
   Ahli Hukum
Secara Umum
Philipus  M Hadjon
Jimly Asshiddiqie

Muatan hak

Generasi I : Hak sipil dan politik Generasi II : Hak Sosial, ekonomi dan budaya
Generasi III : Hak pembangunan

Abad XVII :
·   HAM bersumber dari hak-hak kodrat yang mengalir dari hukum kodrat
·   Hak-hak politik
Abad XVIII :
·   Hak-hak kodrat dirasionalkan dalam kontrak sosial Kebebasan sipil
·   Individualisme kuantitatif
Abad XIX :
·   Ditambah dukungan etik dan utilitarian dan munculnya paham sosialisme
·   Hak-hak partisipasi
    Individualisme         kualitatif
Abad XX :
·   Konversi hak-hak asasi manusia yang sifatnya kodrat menjadi hak-hak hukum (positip)
·   Hak-hak sosial (sosiale grondrechten)

Generasi I :
The Universal Declaration of Human
Generasi II :
International Couvenant on Civil and Political Rights dan  International Couvenant on Eco­nomic, Sosial and Cultural Rights
Generasi III :
Munculnya hak pembangunan
Generasi IV :
hubungan kekuasaan dalam konsepsi yang bersifat horizontal
Generasi V :
Hak konsumen atas produsen
Ideologi Politik

Konsep Barat :
·   Sumber: Natural rights, yang menggali dari natural law yang telah berkembang sejak dari abad XVII hingga dewasa ini
·   Isi : Menekankan hak individu dengan meletakkan kewajiban pada masyarakat dan negara
Konsep Sosialis :
·   Sumber: Ajaran Karl Marx
·   Isi : Menekankan kewajiban terhadap negara
Konsep Dunia III:
·   Yang dipengaruhi oleh konsep Barat
·   Yang dipengaruhi oleh konsep sosialis
·   Yang mempunyai konsep sendiri, misalnya : India dan indonesia.

Sifat hubungan kekuasaan


Generasi HAM I :
Sifat : vertikal antara negara dengan rakyat
Macam :
·         Generasi I : Hak sipil dan politik
·         Generasi II : Hak Sosial, ekonomi dan budaya
·         Generasi III : Hak pembangunan

Generasi HAM II :
·         Generasi IV
Sifat : horisontal  antar sesama manusia
Munculnya  fenomena :
·        konglo­merasi
·        Nations without State
·        global citizens
·        corporate federalism
·         Generasi V
Sifat : horisontal  antar sesama manusia
Munculnya  fenomena :
       Perlindungan konsumen
Ketentuan hukum internasional berkaitan dengan HAM
1.         The Universal Declaration of Human Rights
The Universal Declaration of Human Rights (selanjutnya disingkat dengan Piagam PBB) Ditetapkan oleh Majelis Umum dalam Resolusi 217 A (III) tertanggal 10 Desember 1948. Piagam PBB berisi 30 Pasal. Pasal 1 Pigam PBB, yaitu “all human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood”. (Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan).
Pasal ini merupakan dasar filosofi mendefinisikan asumsi dasar Deklarasi: bahwa hak untuk kebebasan dan persamaan merupakan hak yang diperoleh manusia sejak lahir dan tidak dapat dicabut darinya; dan karena manusia merupakan makhluk rasional dan bermoral, ia berbeda dengan makhluk lainnya di bumi, dan karenanya berhak untuk mendapatkan hak dan kebebasan tertentu yang tidak dinikmati makhluk lain.[13]

Pasal 2 Piagam PBB, merupakan prinsip dasar dari persamaan dan nondiskriminasi. yaitu :
Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or sosial origin, property, birth or other status. Furthermore, no distinction shall be made on the basis of the political, jurisdictional or international status of the country or territory to which a person belongs, whether it be independent, trust, non-self-governing or under any other limitation of sovereignty. (Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam Deklarasi ini tanpa pembedaan dalam bentuk apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik atau keyakinan lainnya, asal usul kebangsaan dan sosial, hak milik, kelahiran atau status lainnya. Selanjutnya, pembedaan tidak dapat dilakukan atas dasar status politik, hukum atau status internasional negara atau wilayah dari mana seseorang berasal, baik dari negara merdeka, wilayah perwalian, wilayah tanpa pemerintahan sendiri, atau wilayah yang berada di bawah batas kedaulatan lainnya).

Pasal 3 Piagam PBB, yaitu “Everyone has the right to life, liberty and security of person”. (Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan dan keamanan pribadi). Pasal ini merupakan tonggak pertama Deklarasi menyatakan hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan seseorang suatu hak yang esensial untuk pemenuhan hak-hak lainnya.[14]

Pasal 4 – 21 Piagam PBB merupakan prinsip dan jaminan atas hak – hak sipil dan politik, yang selanjutnya dijabarkan dalam International Couvenant on Civil and Political Rights  (Kovenan hak sipil dan politik). Adapun isi dari Pasal 4 – 21 Piagam PBB, adalah :
1.            kebebasan dari perbudakan dan perhambaan  (Pasal 4 ).
2.            kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat(Pasal 5).
3.            hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum di manapun (Pasal 6,7).
4.            hak untuk mendapatkan upaya pemulihan yang efektif melalui peradilan (Pasal  8).
5.            kebebasan dari penangkapan, penahanan atau pengasingan sewenang-wenang (Pasal  9).
6.            hak untuk mendapatkan pemeriksaan yang adil dan peradilan yang terbuka oleh pengadilan yang independen dan tidak berpihak (Pasal  10).
7.            hak untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya (Pasal 11 ).
8.            kebebasan dari intervensi yang sewenang-wenang atas kebebasan pribadi, keluarga, rumah atau surat menyurat (Pasal 12 ).
9.            kebebasan untuk bergerak dan bertempat tinggal (Pasal 13 ).
10.        hak atas suaka (Pasal  14).
11.        hak atas kewarganegaraan (Pasal  15).
12.        hak untuk menikah dan mendirikan keluarga (Pasal 16 ).
13.        hak untuk memiliki harta benda (Pasal 17).
14.        kebebasan untuk berpikir, berkeyakinan dan beragama (Pasal 18).
15.        kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat (Pasal 19).
16.        hak untuk berkumpul dan berserikat secara damai (Pasal 20).
17.        hak untuk ikut serta dalam pemerintahan negaranya dan mendapatkan akses yang sama ke pelayanan publik di negaranya (Pasal 21).

Selanjutnya ketentuan Pasal 22 - 27 Piagam PBB merupakan jaminan atas hak – hak sosial ekonomi dan budaya, yang selanjutnya dijabarkan dalam International Couvenant on Sosial, Economic and Cultural Rights  (Kovenan hak sosial, ekonomi dan budaya). Adapun isi dari Pasal 22 - 27 Piagam PBB, adalah :
1.            hak atas jaminan sosial (Pasal 22).
2.            hak untuk bekerja (Pasal 23).
3.            hak untuk mendapatkan pendapatan yang sama untuk pekerjaan yang sama (Pasal 23).
4.            hak untuk beristirahat dan bertamasya (Pasal  24).
5.            hak atas standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kehidupan (Pasal 25 ).
6.            hak atas pendidikan (Pasal 26).
7.            hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya suatu masyarakat (Pasal 27).

Selanjutnya Pasal 28 – 30 Piagam PBB  merupakan rumusan hak dan kewajiban masyarakat internasional, yaitu :
Pasal 28 Pigam PBB, yaitu : Everyone is entitled to a sosial and international order in which the rights and freedoms set forth in this Declaration can be fully realized. (Setiap orang berhak atas ketertiban sosial dan internasional, di mana hak dan kebebasan yang diatur dalam Deklarasi ini dapat diwujudkan sepenuhnya).
Pasal 29 Pigam PBB, yaitu :
(1) Everyone has duties to the community in which alone the free and full development of his personality is possible. (Setiap orang mempunyai kewajiban kepada masyarakat tempat satu-satunya di mana ia dimungkinkan untuk mengembangkan pribadinya secara bebas dan penuh).
(2) In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society. (Dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang hanya tunduk pada batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan memenuhi persyaratan-persyaratan moral, ketertiban umum dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat yang demokratis).
(3) These rights and freedoms may in no case be exercised contrary to the purposes and principles of the United Nations. (Hak dan kebebasan ini dengan jalan apapun tidak dapat dilaksanakan apabila bertentangan dengan tujuan dan prinsip Perserikatan Bangsa- Bangsa).

Pasal 30 Pigam PBB, yaitu : Nothing in this Declaration may be interpreted as implying for any State, group or person any right to engage in any activity or to perform any act aimed at the destruction of any of the rights and freedoms set forth herein. (Tidak ada satu ketentuan pun dalam Deklarasi ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberikan hak pada suatu Negara, kelompok atau orang, untuk terlibat dalam aktivitas atau melakukan suatu tindakan yang bertujuan untuk menghancurkan hak dan kebebasan apapun yang diatur di dalam Deklarasi ini).
Pasal 28 – 30 Piagam PBB  merupakan rumusan hak dan kewajiban masyarakat internasional, untuk menjaga ketertiban umum dengan pelaksanaan hak dan kebebasan yang sesuai dengan hukum.


2.                    International Covenant on Civil and Political Rights.


International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan internasional tentang hak sipil dan politik) ditetapkan dan dinyatakan terbuka untuk ditandatangani, diratifikasi dan disetujui oleh resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) pada 16 Desember 1966.  Kovenan itifikasi Ini diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang RI No. 12. Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan internasional tentang hak sipil dan politik) LN Tahun 2005 No.  LN Tahun 2005 No.  119 TLN No. 4558. Kovenan internasional tentang hak sipil dan politik  berisi 52 Pasal. Adapun yang berkaitan dengan rumusan hak sipil dan politik terdapat dalam Pasal 6 – Pasal 27, yaitu :

1.      hak untuk hidup (Pasal 6)
2.      tidak seorang pun dapat dijadikan obyek penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau yang merendahkan martabat (Pasal 7);
3.      tidak seorangpun dapat diperlakukan sebagai budak; bahwa perbudakan dan perdagangan budak dilarang; dan tidak seorangpun dapat diperhambakan atau diminta untuk melakukan kerja paksa (Pasal 8);
4.      tidak seorangpun dapat ditangkap atau ditahan sewenang-wenang (Pasal 9)
5.      semua orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi (Pasal 10);
6.      tidak seorangpun dapat dipenjarakan semata-mata atas dasar ketidakmampuan memenuhi kewajiban suatu kontrak (Pasal 11).
7.      kebebasan bergerak dan memilih tempat tinggal (Pasal 12)
8.      batasan-batasan yang diperbolehkan ketika mendeportasi warga negara asing yang secara sah berada dalam wilayah Negara Pihak (Pasal 13).
9.      kesetaraan setiap orang di depan pengadilan dan lembaga peradilan dan jaminan dalam proses pengaduan pidana dan perdata (Pasal 14).
10.  melarang pemberlakuan hukum pidana yang berlaku surut (Pasal 15);
11.  menegaskan hak setiap orang untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum (Pasal 16);
12.  larangan terhadap pelanggaran tidak sah dan sewenang-wenang atas kehidupan pribadi, keluarga, rumah atau korespondensi, dan serangan tidak sah atas kehormatan dan reputasinya (Pasal 17).
13.  hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama (Pasal 18),
14.  kebebasan berpendapat dan mengeluarkan pikiran (Pasal 19).
15.  perlunya hukum yang melarang propaganda perang dan upaya-upaya menimbulkan kebencian berdasarkan kebangsaan, ras atau agama, yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan (Pasal 20).
16.  hak berkumpul secara damai (Pasal 21).
17.  hak untuk berserikat (Pasal 22)
18.  hak bagi laki-laki dan perempuan pada usia kawin untuk menikah dan membentuk keluarga, dan prinsip persamaan hak dan kewajiban pasangan yang terikat dalam perkawinan, selama perkawinan maupun setelah pembubaran perkawinan (Pasal 23).
19.  mengatur upaya-upaya melindungi hak anak (Pasal 24),
20.  mengakui hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam melakukan kegiatan publik, untuk memilih dan dipilih, dan untuk memiliki akses yang sama ke pelayanan publik di negaranya (Pasal 25).
21.  setiap orang adalah sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan yang sama di depan hukum (Pasal 26).
22.  mengatur perlindungan terhadap hak suku bangsa, etnis, gama dan bahasa minoritas yang berdiam di wilayah Negara Pihak (Pasal 27).

3.                    International Covenant on Sosial, economic and cultural Rights.

International Covenant on Sosial, economic and cultural Rights (Kovenan internasional tentang hak sosial, ekonomi dan budaya) ditetapkan dan dinyatakan terbuka untuk ditandatangani, diratifikasi dan disetujui oleh resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) pada 16 Desember 1966.  Kovenan itifikasi Ini diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang RI No. 11. Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Sosial, economic and cultural Rights (Kovenan internasional tentang hak sosial, ekonomi dan budaya) LN Tahun 2005 No.  119 TLN No. 4557. Kovenan internasional tentang hak sipil dan politik  berisi 31 Pasal. Adapun yang berkaitan dengan rumusan hak sipil dan politik terdapat dalam Pasal 6 – Pasal 15, yaitu :
1.            hak untuk bekerja (Pasal 6);
2.            hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan baik (Pasal 7);
3.            hak untuk membentuk dan ikut dalam organisasi perburuhan (Pasal 8);
4.            hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial khususnya para ibu, anak dan orang muda (Pasal  9, 10);
5.            hak untuk mendapat kehidupan yang layak (Pasal11);
6.            hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tinggi (Pasal 12);
7.            hak atas pendidikan (Pasal 13 dan 14);
8.            hak untuk  berpartisipasi dalam kehidupan budaya (Pasal 15).


Pengaturan hak asasi manusia di dalam Piagam PBB,  dijabarkan dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Kovenan sosial, ekonomi dan budaya. Adapun peletakan Pasal dalam masing-masing aturan hukum, dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :

No
Macam hak
Piagam PBB
(Pasal)
Kovenan Hak Sipil dan Politik
(Pasal)
Kovenan Hak Sosial, ekonomi dan budaya
(Pasal)
1
Non diskriminasi
2
20,27

2
hak atas kehidupan, kemerdekaan dan keamanan pribadi
3
6, 9

3
kebebasan dari perbudakan dan perhambaan 
4
8

4
kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat
5
7

5
hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum di manapun
6,7
16, 26

6
hak untuk mendapatkan upaya pemulihan yang efektif melalui peradilan
8
9

7
kebebasan dari penangkapan, penahanan atau pengasingan sewenang-wenang
9
9, 10

8
hak untuk mendapatkan pemeriksaan yang adil dan peradilan yang terbuka oleh pengadilan yang independen dan tidak berpihak
10
14

9
hak untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya
11
15

10
kebebasan dari intervensi yang sewenang-wenang atas kebebasan pribadi, keluarga, rumah atau surat menyurat
12
17

11
kebebasan untuk bergerak dan bertempat tinggal;
13
12

12
hak atas suaka
14
13

13
hak atas kewarganegaraan
15
13, 24

14
hak untuk menikah dan mendirikan keluarga
16
23, 24

15
hak untuk memiliki harta benda
17
11

16
kebebasan untuk berpikir, berkeyakinan dan beragama
18
18

17
kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat
19
19

18
hak untuk berkumpul dan berserikat secara damai
20
21, 22
8
19
hak untuk ikut serta dalam pemerintahan negaranya dan mendapatkan akses yang sama ke pelayanan publik di negaranya
21
25

20
hak atas jaminan sosial;
22

9, 10
21
hak untuk bekerja;
23

6
22
hak untuk mendapatkan pendapatan yang sama untuk pekerjaan yang sama;
23

7
23
hak untuk beristirahat dan bertamasya;
24

10
24
hak atas standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kehidupan;
25

11, 12
25
hak atas pendidikan;
26

13, 14
26
hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya suatu masyarakat
27

15

Piagam PBB,  Kovenan Hak Sipil dan Politik serta Kovenan hak sosial, ekonomi dan budaya selanjutnya menjadi dasar pengembangan pemikiran rumusan hak asasi manusia. Termasuk Indonesia yang telah meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik dalam UU No. 12 Tahun 2005 dan telah meratifikasi Kovenan hak sosial, ekonomi dan budaya ke dalam UU No. 11 Tahun 2005.  Merupakan kewajiban bagi pemerintah Indonesia untuk segera mewujudkannya dalam peraturan perundang-undangan karena akibat hokum ratifikasi suatu perjanjian internasional adalah menjadi bagian dari hokum nasional yang harus ditaati. Kenyataan masih banyak peraturan perundang-undangan yang belum sesuai bahkan bertentangan dengan materi Piagam PBB,  Kovenan Hak Sipil dan Politik serta Kovenan hak sosial, ekonomi dan budaya, contohnya UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh.

Rujukan

Philipus M. Hadjon, Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia (suatu studi tentang Prinsip-prinsipnya, penanganannya oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan pembentukan peradilan administrasi), Peradaban, 2007.

http://www.jimly.com/makalah/namafile/2/ Demokrasi dan hak asasi manusia.doc.

http://www.komnasham.go.id/ Lembar fakta Ham, edisi 3


[1] Dosen FH Univ. Muhamamdiyah Surabaya
[2] Philipus M. Hadjon, Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia (suatu studi tentang Prinsip-prinsipnya, penanganannya oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan pembentukan peradilan administrasi), Peradaban, 2007, h.. 33-34.
[3] Ibid., h. 41.
[4] Ibid., h. 43.
[5] Ibid., h. 37.
[6] Ibid., h. 45-46.
[7] Ibid., h. 48.
[8] Ibid., h.46-47.
[9] Ibid.. h. 53.
[10] Ibid.. h. 54.
[11] http://www.komnasham.go.id.
[12] http://www.jimly.com/makalah/namafile/2/ Demokrasi dan hak asasi manusia.doc.
[13] http://www.komnasham.go.id/ Lembar fakta Ham, edisi 3,.h. 15.
[14] http://komnasham.go.id/ Lembar fakta Ham, edisi 3,.h. 16.