Selasa, 21 Februari 2012

Pedagang Kaki Lima dan Kebijakan Publik.

Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu sektor informal yang dominan di daerah perkotaan, sebagai wujud kegiatan ekonomi skala kecil yang menghasilkan dan atau mendistribusikan barang dan jasa. Barang-barang yang dijual yaitu barang-barang convenience (berkatagori menyenangkan) seperti makanan hingga souvenir. PKL menjajakan dagangannya berkeliling atau mengambil tempat di trotoar dan emper toko.
PKL, seperti halnya kegiatan informal, memiliki ciri-ciri yaitu (Buchari Alma, 1992: 1390): tidak terorganisasi secara baik, tidak memiliki ijin usaha yang sah, pola kegiatan tidak teratur (tidak ada jam kerja), usahanya tidak kontinyu (mudah berganti usaha ), modal usaha relatif kecil (barang dagangan milik sendiri ataupun milik orang lain), teknologi yang digunakan sangat sederhana, dan umumnya tingkat pendidikan rendah).
PKL tumbuh tidak terencana dan memiliki keragaman dalam bentuk maupun jasa pelayanannya. Perkembangan itu tidak pernah terhenti sejalan dengan pertumbuhan perkembangan penduduk. Pertumbuhan tersebut demikian pesat, terlebih lagi menyusul krisis ekonomi melanda Indonesia sejak medio tahun 1997.
Pertumbuhan PKL yang demikian pesat tersebut berdampak positif dan negatif. Positif, karena dapat menjadi sumber bagi pendapatan asli daerah, dapat menjadi alternatif untuk mengurangi pengangguran, dan dapat melayani kebutuhan masyarakat khususnya bagi golongan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Sebailiknya, pertumbuhan PKL yang sangat pesat setelah masa krisis ekonomi menjadi tidak terkendali. Hal itu dapat menjadi penghalang bagi visi pemerintah kota (Kota Madya Denpasar) untuk mewujudkan ketertiban umum dan muncul fenomena sosial lain yaitu potensi konflik antar-PKL maupun dengan kelompok-kelompok preman yang menguasai lokasi kaki lima.
Masalahnya adalah bagaimana pemerintah kota memandang hal itu dan membuat kebijakan-kebijakan yang tepat untuk meningkatkan taraf hidup para PKL yang sebagian besar miskin, dan sekaligus menegakkan hukum bagi pengendalian dan pengaturan tata kota.
Sumber : diadaptasi dari Hessel Nogi S. Tangkilisan, 2004: 163-170.
1.            Proses perumusan kebijakan publik
Upaya mengatasi pedagang kaki lima potensi pembangunan ekonomi atau pengganggu ketertiban umum yaitu bagaimana pedagang kaki lima bisa tetap berjalan namun tidak sampai mengganggu ketertiban umum. Menurut Charles Lindblom mengatakan bahwa untuk memahami siapa sebenarnya yang merumuskan kebijakan lebih dahulu harus dipahami sifat-sifat semua pemeran serta bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau bentuk kekuasaan yang mereka miliki dan bagaimana mereka saling berhubungan.  Pemerintah harus berusaha untuk mengatasi permasalahan ini dengan bijak dan terbuka dengan menyadarkan kepada masyarakat baik terhadap pedagang kaki lima itu sendiri maupun konsumennya untuk selalu berusaha mentaati segala aturan yang ada dalam pemerintahan. Kebijakan pemerintah yang harus diambil dalam mengatasi permasalah itu adalah :
a.      Alokasi tempat
         Pemerintah tidak hanya memberikan peringatan kepada pedagang kaki lima saja yang melakukan kesalahan namun juga harus mampu memberikan solusi untuk mengatasi permasalah tersebut salah satunya adalah memberikan lahan atau tempat untuk berjualan kepada pihak pedagang kaki lima.
b.            Sarana dan prasarana
Untuk dapat menjual dagangannya maka pedagang kaki lima harus bisa diberikan sarana dan prasarana yang baik sehingga baik pedagang maupun para pengunjung segan dan menikmati suasana yang menyenangkan sehingga betah dan krasan bisa ada ditempat tersebut.
c.             Adanya peraturan dan larangan
Baik pedagang kaki lima maupun pengunjung tetap harus mentaati peraturan dan larangan yang dibuat oleh pemerintah dengan tujuan untuk pelaksanaan kegiatan dagang dapat berjalan secara teratur, tertib dan tidak sendiri-sendiri.
Negara kita adalah negara hukum sehingga setiap langkah dan kegiatan yang dilakukan oleh manusia atau masyarakat dibatasi dengan hukum dan tidak bisa tanpa batas. Pemerintah atau administrasi negara diberikan kewenangan yang luas untuk melakukan berbagai tindakan hukum dalam rangka melayani kepentingan masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Pemberian kewenangan kepada pemerintah atau administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri lazim disebut dengan istilah “ Fries Ermessen “ atau discretionary power. Pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya (welfare state) harus berusaha untuk menjadikan rakyat menjadi sejahtera.
Sjachran Basah mengemukakan unsur-unsur fries ermessen dalam suatu negara hukum yaitu sebagai berikut :
1.      Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik.
2.      Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara
3.      Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum
4.      Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri
5.      Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang muncul secara tiba-tiba
6.      Sikap tindak itu dapat dipertanggung jawabkan baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum
( Sjachran basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Adminstrasi di Indonesia disunting oleh Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, UII Yogyakarta; 2002, h. 134)
 Kebijakan publik itu sendiri mempunyai arti serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. ( M. Irfan Islamy, Kebijakan Publik, Universitas Terbuka, Jakarta; 2004, h. 20).
Menurut Philipus M, Hadjon, mengatakan bahwa peraturan kebijakan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan “ naar buiten gebracht shireftelijk beleid “ yaitu menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis “ ( Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia, Gajah Mada Press, Yogyakarta; 1993, h. 152).
Dewasa ini sektor informal di daerah perkotaan Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang pesat. Membengkaknya sektor informal mempunyai kaitan dengan berkurangnya sektor formal dalam menyerap pertambahan angkatan kerja di kota. Sedang pertambahan angkatan kerja sebagai akibat migrasi ke kota lebih pesat daripada pertumbuhan kesempatan kerja. Akibatnya terjadi pengangguran terutama di kalangan usia muda dan terdidik, yang diikuti dengan membengkaknya sektor informal. ( Tadjuddin Noer effendi, 1988, h 2).
Jika dibandingkan dengan kegiatan formal perbedaannya adalah :
Karakter
Kegiatan formal
Kegiatan informal
Modal
Teknologi
Organisasi
Kredit

Relatif mudah diperoleh
Padat modal
Birokrasi
Lembaga Keuangan resmi
Sukar diperoleh
Padat karya
Sanak keluarga
Di luar lembaga resmi
Sumber : Buchari Alma, 1992
Masalah pedagang kaki lima perumusan kebijakan publik menggunakan model demokratis dimana pengambilan keputusan harus sebanyak mungkin mengelaborasi suara, menghendaki agar setiap “ pemilik hak demokratis” diikut sertakan sebanyak-banyaknya. Dalam hal memutuskan suatu permasalah dalam hal ini adalah pedagang kaki lima baik pemerintah maupun pedagang dan masyarakat diberikan haknya untuk memberikan saran dan masukan guna mencari solusi yang terbaik dalam pelaksanaannya. Peran serta semua pihak sangat diharapkan karena keberhasilan masalah pedagang kaki lima merupakan masalah bersama dan perlu dipecahkan secara kebersamaan. Setiap permasalahan diusahakan dipecahkan secara musyawarah untuk mencapai kemufakatan namun hal ini peran pemerintah sangat penting dan dominan karena pemerintah sebagai wadah negara dalam membentuk suatu tatanan yang baik dan terencana namun berdasarkan aturan atau peraturan yang telah ditetapkan secara transparan.
Kalau kita lihat perkembangan pedagang kaki lima tidak pernah hentinya dengan pertumbuhan penduduk. Hal ini akan memberikan dampak yang positif maupun dampak yang negatif. Positifnya perdagangan kaki lima dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) bagi pemerintah daerah, dapat berfungsi sebagai alternatif dalam mengurangi jumlah pengangguran serta dapat melayani kebutuhan masyarakat khususnya bagi golongan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Negatifnya adalah dapat menimbulkan masalah dalam pengembangan tata ruang kota seperti gangguan ketertiban umum dan timbulnya kesan penyimpangan terhadap peraturan akibat sulitnya mengendalikan perkembangan sektor informal ini. Masalah sekarang bagaimana pemerintah memandang hal ini dan menurunkan kebijakan-kebijakan yang tepat untuk meningkatkan taraf hidup mereka yang sebagian besar miskin, sekaligus menegakkan hukum bagi pengendalian dan pengaturan tata kota.

 Pedagang Kaki lima merupakan tangung jawab bersama sehingga perlu dipecahkan secara bersama-sama baik pemerintah, pedagang kaki lima, LSM sehingga permasahan yang ada dipecahkan melalui suatu rapat guna mencari solusi yang lebih baik disini peran pedagang kaki lima diberikan haknya untuk memberikan masukan demi jalannya proses pemerintahan dimana apa yang diharapkan pemerintah baik pemerintah daerah untuk memberikan rasa nyaman, tertib dan tata kota tercapai disamping itu pedagang kaki lima juga bisa menikmati serta dapat menjalankan usahanya demi untuk kelangsungan hidupnya.  Permasalahan dibahas kemudian dirumuskan yang terbaik dan setelah ada titik temu maka disahkan oleh pemerintah (wali kota dan DPRD) sebagai pengemban tugas negara dalam menciptakan suasana yang diharapkan yaitu rasa nyaman, tentram, asri dan indah. Dalam model demokratis ini setiap keputusan merupakan hasil bersama dan tidak perorangan maka apabila melanggar maka akan diberikan sanksi yang tegas. Sehingga jelas disini bahwa model ini sangat efektif implementasinya karena setiap pihak mempunyai kewajiban untuk ikut serta mencapai keberhasilan kebijakan karena setiap pihak bertanggung jawab atas kebijakan yang dirumuskan dan bukan merupakan tanggung jawab perorangan.
Harapan dengan penataan yang baik dan benar mampu mengendalikan masalah pedagang kaki lima secara proporsional, dengan tidak melanggar ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang ada, dan sesuai dengan visi dan misi pembangunan Kota yang nyaman bagi penghuninya.
Bentuk perumusan kebijakan Publik berupa Perda (Peraturan darah) yang bertujuan untuk menertibkan pedagang kaki lima.
2.      Aktor-Aktor yang relevan dan peranannya dalam perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan publik tersebut adalah pemerintah daerah (wali kota, DPRD, Dinas tata kota, Satpol PP, Kejaksaan Negeri, Kepolisian Kota Besar, Pengadilan), Masyarakat, Tokoh Agama dan Tokoh masyarakat, Lembaga sosial masyarakat.
         Pemerintah (Wali kota, DPRD, Dinas tata kota, Satpol PP, Kejaksaan negeri, Kepolisian Kota Besar, Pengadilan ) adalah sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan bersama dengan DPRD dalam rangka penertiban pedagang kaki lima dan sebagai pelaksana pentertiban satpol PP
         Masyarakat adalah orang-orang yang ada disekitar dan yang menikmati jalan yang dipakai oleh pedagang kaki lima
         Tokoh agama dan tokoh masyarakat      orang yang dituakan, disegani, dihormati.
         LSM adalah lembaga yang bergerak di bidang sosial masyarakat
         SatPol PP adalah satuan polisi pamong praja yang melakukan pentertiban
         Kepolisian, Kejaksaan dan pengadilan bertugas apabila sudah terjadi penindakan dan dilanjutkan dalam penyidikan sampai ke persidangan
         Dinas Tata Kota adalah memberikan sarana dan petunjuk serta plafon larangan yang ditempatkan di tempat-tempat trotoar.
Untuk menanggulangi persoalan pedagang kaki lima dan masalah lain yang berkaitan dengan ketertiban umum maka pemerintah melakukan kebijakan sosialisasi rencana tata kota yang pokoknya adalah membangun kota yang berbasis masyarakat; pengembangan lingkungan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan; pengembangan kota sebagai kota jasa skala nasional maupun internasional.
3.      Produk Hukum yang cocok sebagai formulasi kebijakan Publik tersebut dan implementasinya adalah Peraturan daerah
Dengan ketentuan apabila ada pedagang kaki lima yang melakukan pelanggaran ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang ada, dan tidak sesuai dengan visi dan misi pembangunan kota yang nyaman bagi penghuninya karena merupakan barometer penilaian atas kinerja pemerintah kota dalam menata kota yang ada di Indonesia maka perlu ditegakkan hukum sesuai dengan peraturan daerah dengan melakukan upaya tindakan tegas dengan diberikan sanksi. Pelaksana adalah Satpol PP.
Bahan Bacaan.

M. Irfan Islamy, Kebijakan Publik, Universitas Terbuka, Jakarta; 2004, h. 20
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia, Gajah Mada Press, Yogyakarta; 1993, h. 152
Riant Nugroho Dwijowijoto, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Penerbit PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Jakarta, H. 125-126

1 komentar: