Yuli Utomo dan Sara Ida Awi
A,Istilah masyarakat adat mulai disosialisasikan di Indonesia di tahun 1993 setelah sekelompok orang yang menamakan dirinya Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang terdiri dari tokoh-tokoh adat, akademisi dan aktivis ornop menyepakati penggunaan istilah tersebut sebagai suatu istilah umum pengganti sebutan yang sangat beragam. Pada saat itu, secara umum masyarakat adat sering disebut sebagai masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang berpindah, peladang liar dan terkadang sebagai penghambat pembangunan. Sedangkan pada tingkat lokal mereka menyebut dirinya dan dikenal oleh masyarakat sekitarnya sesuai nama suku mereka masing-masing. JAPHAMA yang lahir sebagai bentuk keprihatinan atas kondisi yang dihadapi oleh kelompok-kelompok masyarakat di tanah air yang menghadapi permasalahan serupa, dan juga sebagai tanggapan atas menguatnya gerakan perjuangan mereka di tingkat global. Dalam pertemuan itu disepakati juga bahwa istilah yang sesuai untuk menerjemahkan istilah indigenous peoples dalam konteks Indonesia adalah masyarakat adat (JaPHaMA, 1993). Dengan konteks yang demikian, ketika kita berbicara tentang hak-hak masyarakat adat di Indonesia, acuannya adalah hak-hak dari indigenous peoples yang berlaku secara universal. Sebagaimana ditetapkan dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara I yang diselenggarakan pada bulan Maret 1999 lalu, disepakati bahwa masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri (lihat Keputusan KMAN No. 01/KMAN/1999 dalam rumusan keanggotaan). Di tingkat negara-negara lain banyak istilah yang digunakan, misalnya first peoples di kalangan antropolog dan pembela, first nation di Amerika Serikat dan Kanada, indigenous cultural communities di Filipina, bangsa asal dan orang asli di Malaysia. Sedangkan di tingkat PBB telah disepakati penggunaan istilah indigenous peoples sebagaimana tertuang dalam seluruh dokumen yang membahas salah satu rancangan deklarasi PBB, yaitu draft of the UN Declaration on the Rights of the Indigenous Peoples.
Di Indonesia, kita seharusnya merasa beruntung dengan adanya masyarakat-masyarakat adat yang barangkali berjumlah lebih dari seribu kelompok. Keberadaan mereka merupakan suatu kekayaan bangsa karena artinya ada lebih dari seribu ragam ilmu pengetahuan yang telah mereka kembangkan. Ada lebih dari seribu bahasa yang telah dimanfaatkan dan dapat membantu pengembangan khasanah bahasa Indonesia dan masih banyak lagi hal lain yang bisa mereka sumbangkan.”To guard their chief social function legitimation and their hard – won authority to hold rulers accountable, they law – men adopt a self–protective, self–limiting and conservative stance .They remove themselves from the ambit of political controversy and conflict. In this they follow a familiar path: Religion, Science, art, and scholarship have adopted similar strategies in defense of institutional integrity”.[1]
Menurut Terr Harr; “Menggambarkan masyarakat hukum adat sebagai suatu masyarakat yang terdiri dari gerombolan-gerombolan orang yang bertalian satu dengan yang lain ,terhadap alam yang tidak terlihat mata,terhadap dunia luar,dan terhadap alam kebeendaan”[2]
Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi bumiputera dan orang timur asing yang mempunyai upaya memaksa , lagi pula tidak dikodifikasikan dank arena sifatnya yang tak tertulis hingga mudah menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakatnya.Hukum adat itu merupakan bagian dari tata hukum yang tumbuh dan terjadi sebagai akibat dari pola kebudayaan dan kebutuhan – kebutuhan masyarakat yang hidup dikepulauan Indonesia.[3]
B. Berkenaan dengan hak asasi manusia dalam rangka penguatan hukum adat. Ketika kita berbicara tentang hukum adat maka hukum adat itu berlaku ketika komunitasnya bersifat homogen, hukum adat terjadi dan ini sudah menjadi lembaga bahwa di Indonesia tiap-tiap daerah mempunyai karakteristik adat masing-masing yang satu sama lain berbeda. Permasalahan timbul ketika kita memasuki suasana yang modernitas yang berakibat pada perubahan sikap hidup manusia. Bagi hukum adat yang bersifat homogen, hukum adat memang bisa berjalan ketika hukum adat itu mengakomodasi masyarakat atau komunitas yang tidak heterogenitas. Hukum adat yang berlaku disuatu daerah dapat mengalami revitalisasi untuk mengantisipasi terjadinya heterogenitas didaerah tersebut akibat kedatangan masyarakat dari komunitas lain. Prinsip hukum adat jika dikaitkan dengan modernitas, hukum adat tersebut harus mempertimbangkan kemajemukan untuk menghindari ketidak sinkronan antara hukum adat dengan hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu, hukum adat kedepan harus dikonversikan kepada hak-hak asasi manusia.
C. Permasalahan masyarakat adat di Indonesia sesungguhnya sudah dialami sejak jaman penyebaran agama-agama besar mulai aktif di wilayah nusantara. Hal mana dapat ditemukan ketika banyak dari mereka dipaksa untuk ‘beradab’ dengan, misalnya, meninggalkan rumah-rumah adat mereka seperti lamin atau betang atau rumah panjang di Kalimantan dan stigmatisasi atas agama-agama asli sebagai kafir atau atheis. Di jaman Hindia Belanda dikembangkannya sistem hukum, termasuk peradilan, dari (Belanda) Eropa jelas merupakan pelecehan atas keberadaan hukum-hukum adat di seluruh penjuru wilayah ini.
Meskipun ada sekelompok kecil ilmuwan yang berpandangan maju dengan memperjuangkan keberadaan masyarakat adat dan hukum adat namun suara dan pengaruh mereka sangat terbatas hanya di tataran hukum agraria saja. Sementara sistem politik, peradilan dan perekonomian sepenuhnya dihancurkan. Kebijakan ini dilanjutkan oleh rejim orde lama, bahkan diperparah oleh rejim orde baru yang menegasikan keberadaan hak-hak adat atas tanah dengan memberlakukan Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5/1967, UU Pokok Pertambangan No. 11/1967 dengan didukung oleh UU tentang Penanaman Modal Dalam Negeri dan UU tentang Penanaman Modal Asing. Penghancuran sistem politik dijaman orde baru dilakukan dengan penetapan UU tentang Pemerintahan Desa No. 5/1979.[4]
Materi dari peraturan perundangan ini secara jelas sudah bermakna pelanggaran hak asasi,Seperti hilangnya hak mengumpulkan hasil hutan.[5] apalagi pemberlakuannya. Pemberlakuan kesemua UU tersebut diatas merupakan awal dari praktek eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran oleh perusahaan-perusahaan negara maupun swasta asing dan nasional. Dengan ditetapkannya UU Pokok Kehutanan, pemerintah menetapkan kawasan hutan negara secara sepihak seluas 143 juta hektar, atau kurang lebih 70% dari seluruh luas daratan Republik Indonesia. Penetapan ini dilakukan secara sepihak dan tidak didasari pengakuan akan keberadaan wilayah-wilayah adat yang sudah ada sebelum negeri ini didirikan. Di dalam wilayah seluas 143 juta hektar ini, di atas wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi diberikanlah hak-hak pengusahaan hutan (HPH dan HPHTI). Sampai tahun 1998 ada lebih dari 400 konsesi telah diberikan. Di luar kegiatan kehutanan, pemerintah melalui Departemen Pertambangan memberikan konsesi-konsesi penambangan di manapun dimana ditemui kandungan tambang dan mineral. Kasus antara orang Amungme dan Komoro dengan PT Freeport McMoran Indonesia adalah contoh dimana konsesi pertambangan diberikan di atas wilayah adat.
Adapun pelanggaran yang mereka alami adalah pelanggaran hak atas kepemilikan, hak atas makanan dan gizi yang mencukupi, hak terhadap standar kehidupan yang layak, hak untuk mengambil bagian dalam kehidupan kebudayaan, hak menentukan nasib sendiri, hak untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental dan masih banyak lagi. Artinya dalam konteks pertanahan, kehutanan dan pertambangan hak-hak masyarakat adat dilanggar secara sistematik. Pelanggaran hak atas kepemilikan terjadi ketika hak-hak masyarakat adat atas wilayahnya baik secara komunal maupun individual tidak diakui dan dinyatakan secara sepihak (oleh negara, dalam hal ini pemerintah) sebagai kawasan hutan negara ataupun wilayah kuasa penambangan. Hak atas makanan dan gizi yang mencukupi dilanggar ketika hutan, kebun, ladang maupun laut di wilayah adat yang merupakan sumber makanan dan gizi mereka dirusak dan atau diganti dengan ‘hutan’ monokultur yang sangat miskin sumber pangan oleh kegiatan HPH dan HP HTI maupun perkebunan besar yang “diijinkan” oleh negara. Pelanggaran hak untuk mengambil bagian dalam kehidupan kebudayaan terjadi ketika mereka tidak lagi menjalankan berbagai ritual ke-agraria-an yang merupakan bagian dari siklus ritual tahunan mereka karena adanya pengambilalihan tanah-tanah mereka secara sepihak tadi. Dan pelanggaran hak untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental terjadi pada saat air sungai dan sumur mereka menjadi keruh, udara mereka penuh debu dan kehidupan mereka penuh ketegangan akibat konflik berkepanjangan dengan pihak perusahaan, perpecahan di dalam masyarakat dan keluarga serta dengan aparat militer yang hampir selalu “mengawal’ pihak pengusaha.
Persoalan yang dihadapi masyarakat adat telah lama menjadi keprihatinan mereka dan banyak pihak. Sejak jaman orde baru mereka telah mencoba untuk melakukan pembelaan dan kampanye baik secara individual maupun secara kolektif dengan memanfaatkan ruang politik yang sempit. Resikonya bukan tidak ada. Akibatnya penangkapan, penahanan semena-mena, penggusuran secara paksa bahkan pembunuhan terus terjadi. Artinya selain hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, sesungguhnya hak-hak sipil dan politik mereka juga terus dilanggar.
Puncak dari perlawanannya, setelah Suharto lengser, mereka dengan didukung puluhan ornop menyelenggarakan Kongres Masyarakat Adat Nusantara yang pertama di Jakarta. Secara umum tuntutan mereka adalah:”Kalau negara tidak mengakui kami, kamipun tidak akan mengakui negara”. Dari sebelas poin tuntutan mereka, pada dasarnya mereka menuntut adanya pengakuan akan hak-hak mereka atas kehidupan sosial, ekonomi dan budaya termasuk kedaulatan atas penguasaan dan pengelolaan tanah, kenayaan alam dan sumber-sumber penghidupan lainnya. Mereka juga menuntut adanya penyelesaian yang arif dan bijaksana atas pelanggaran akan hak menentukan nasib sendiri termasuk rehabilitasi kedaulatan dan hak-hak masyarakat adat yang selama ini telah dilanggar, pengusutan dan pengadilan bagi pelaku pelanggaran HAM dan rehabilitasi bagi korban. (Pandangan Dasar KMAN 1999 tentang Posisi Masyarakat Adat terhadap Negara)
Pertanyaan selanjutnya, apakah ada perkembangan yang cukup komprehensif untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi manusia di Indonesia?
Pertanyaan selanjutnya, apakah ada perkembangan yang cukup komprehensif untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi manusia di Indonesia?
Betul sudah ada kemajuan dalam hal kebebasan berekspresi, berkumpul dan berorganisasi dirasakan banyak pihak. Namun belum ada perubahan mendasar dari politik ekonomi pengelolaan sumber daya alam di negeri ini. Istilahnya, masih business as ussual. Belum terasa adanya angin reformasi di sektor kehutanan, pertambangan, mineral dan energi apalagi di kelautan dan perikanan yang baru ‘digarap’. Padahal amandemen UUD 1945 kedua dan ketiga mulai mengakui hak-hak masyarakat adat (yang terkadang disebut sebagai masyarakat hukum adat, di pasal lain sebagai masyarakat tradisional). Serta Sidang Tahunan MPR bulan Nopember lalu telah menetapkan Tap. No. IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang antara lain dalam pasal 4 menetapkan prinsip: “melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat” dan “mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam”. Namun disadari bahwa jarak antara TAP MPR RI ini dengan rasa keadilan yang hidup di hati penduduk rakyat masih cukup jauh.
Kesenjangan hanya ini dapat diperdekat dengan usaha sungguh-sungguh untuk “mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya”, memperbaharui kelembagaan dan program yang nyata dan dapat menjawab permasalahan kemiskinan, konflik, ketimpangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi rakyat serta kerusakan ekosistem.”Land disputes such as the letter ,are common in Jakarta(Indonesia) where many people do not actually hold the correct title documentation” ).[6]
Konsep HAM mempunyai beberapa prinsip, yaitu:
1. HAM harus menghargai sifat-sifat kemanusiaan
2. Konsep HAM pada dasarnya harus menghindari sifat-sifat diskriminatif
Contoh-contoh pelanggaran HAM bersifat kemanusiaan yang sering terjadi di masyarakat :
a). Secara empiris munculnya diskriminasi terhadap perempuan bermula dari kesejarahan yang berakibat pada munculnya anggapan bahwa laki-laki lebih kuat dari perempuan dan akhirnya merefleksi perempuan.
b). Pelanggaran yang bersifat etnisitas terjadi jika ada satu etnis yang merasa lebih dibandingkan dengan etnis lain.
c). Pelanggaran HAM berupa perbedaan afiliasi politik terjadi apabila kelompok-kelompok politik yang mempunyai afiliasi yang kuat menindas kelompok politik yang minoritas.
d). Pelanggaran HAM pada wilayah-wilayah adat.
Di pihak lain, individu atau kelompok individu mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan hak – hak ;ekonomi,social dan budaya yang salah satunya adalah melalui advokasi yakni menaggapi kepentingan warga untuk mentransformasikan hak- hak ekonomi,budaya,dan social dan kebudayaan yang formal menjadi hak – hak ekonomi,social, budaya dan kebudayaan yang sesungguhnya dan efektif.. (Dikutif dari Marhaendra Wija Atmaja; 2004 : 1-2)[7]
Hukum adat tetap bisa survive dan diakui oleh masyarakat jika hukum adat tidak hanya dimunculkan karena konsep kesejarahan tetapi disebabkan adanya legitimasi dan adanya akomodasi terhadap semua kepentingan dan semua komponen. Hukum adat yang bersifat diskriminatif akan menjadi hukum yang tidak dibutuhkan oleh masyarakat. Masyarakat sipil dapat menggunakan hukum adat melalui upaya pemberian jaminan terhadap hak-hak sipil oleh negara sehingga ada hak-hak sipil yang terakomodasi didalam hukum adat tersebut dan diakui oleh negara.
a. Belenggu Hak Masyarakat Adat dari Masa ke Masa
Dalam konteks Indonesia, masyarakat adat telah mengalami pasang surut perlakuan diskriminatif, manipulatif maupun semi-akomodatif dari masa-masa ke masa. Di era kolonial Belanda, masyarakat adat diakui keberadaannya melalui IGO (Inlandshe Gemeente Ordonantie) Staatsblad 1906 No. 83 yang mengatur desa di jawa dan Madura dan IGOB (Inlandshe Germente Ordonantie Biutengewsten) Staatsblad 1938, No. 490 yang mengakui struktur pemerintahan adat di sepuluh wilayah di luar Jawa Madura.
Namun, kebijakan pengakuan atas institusi lokal/adat pada dasarnya adalah bagian dari politik kontrol ekonomi Kolonial Belanda lewat manipulasi struktur ketaatan lokal terhadap struktur-struktur kekuasaan. Melalui Kepala Desa atau pemangku adat yang dipercaya dan ditaati warganya, warga desa dapat diperintah untuk melakukan kerja paksa (dwang cultuur), menarik pajak dan lain sebagainya demi keuntungan Pemerintah Kolonial Belanda.[8]
Pada jaman Orde Baru, identitas-identitas majemuk, termasuk masyarakat adat diintegrasikan agar terunifikasi, seragam dan sentralistik. Ekonomi politik Orde Baru berada di balik kebijakan tersebut. Dalam konteks hak atas tanah, para pemikir hukum agraria nasional menyebut bahwa setelah terintegrasi ke dalam negara maka konsep hak ulayat masyarakat adat diangkat menjadi ulayat nasional lewat konsep Hak Menguasai Negara. Artinya, ketika negara hadir, ulayat komunal dibungkam. Bahkan ulayat negara itu, menurut seorang Profesor Hukum, beralih ke pemenintah pusat selaku penguasa tertinggi, pemegang hak menguasai/ulayat seluruh wilayah negara. Lalu, berbasis konsep ulayat negara, sejumlah kawasan yang sebelumnya sudah diklaim oleh masyarakat adat sebagai kawasan adat, dikapling menjadi wilayah konsesi. Dari sana konflik bertaburan dan sekali lagi hak masyarakat adat terbelenggu dan terdiskriminasi.
Di era sekarang, di bawah panji otonomi daerah, masyarakat adat kembali diakui eksistensinya tapi harus memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain harus sesuai dengan perkembangan jaman dan peraturan perundang-undangan. Namun, banyak peraturan perundang-undangan yang ada masih merupakan warisan politik hukum Orde Baru. Misalnya ulayat negara versi Orde Baru masih dipertahankan secara utuh. Dalam Undang-undang No 41 tahun 1999, pasal 1 huruf (f) disebutkan bahwa “hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Rumusan ini memutus harapan masyarakat adat untuk mengembalikan tanah-tanah mereka yang sebelumnya sudah diambil secara paksa untuk kepentingan Ekonomi politik rezim politik masa lalu.
Secara singkat, kolonialisme hingga Indonesia merdeka nampaknya hadir di tengah masyarakat adat untuk menyedot sumber daya Ekonomi mereka melalui manipulasi berbagai struktur, kelembagaan, sistem nilai maupun kepatuhan masyarakat adat.
b. Self Determination & Otonomi Lokal
Perkembangan-perkembangan di atas menunjukan bahwa situasi masyarakat adat tidak banyak mengalami perubahan sejak era kolonial hingga sekarang. Berkaitan dengan ini, ada dorongan dari berbagai pihak, untuk membuka ruang lebih besar bagi masyarakat adat agar mereka mengatur dirinya sendiri dan mengontrol sumber daya yang mereka miliki sehingga mendukung mereka menjadi masyarakat mandiri dan makmur. Konsep hukum Internasional seperti konvenan hak-hak Sipil dan Politik (International Convenant on Civil and Political Rights) dan konvenan hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights) serta Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat menyebut upaya ini sebagai self determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri. Disebut demikian, karena kedua konvensi ini dibahas dan disetujui Pada era 1960-an ketika banyak wilayah mengajukan diri untuk merdeka atau lepas dari otoritas negara.
Sejalan dengan spirit reformasi bergulir maka semua yang berkaitan dengan UU peraturan Desa diganti dengan UU no 22 Tahun 1999 bukan saja memberikan hak otonomi yang lebih luas kepada kabupaten dan kota melainkan juga memberikan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dengan segala normanya.[9]
Namun, konsep ini tetap menimbulkan perdebatan politik yang serius karena sebagian orang memahaminya kurang lebih mirip dengan separatisme. Sebagai konsep hak asasi manusia, self-determination pertama-tama menyediakan ruang untuk bebas dari penindasan dan segala bentuk tindakan yang mengurangi derajad kemanusiaan. Karena itu, konsep ini bisa juga dimaknai sebagai external self- determination, atau hak suatu komunitas untuk merdeka dari suatu negara yang telah mencederai maupun menggusur derajat kemanusiaan mereka.
Sebaliknya, internal self-determination merupakan konsep yang memberi ruang otonom bagi komunitas dalam suatu negara. Surya Prakash Sinha, menguraikan bahwa konsep internal self-determination merupakan turunan dari pengakuan filosofis terhadap perjalanan manusia untuk menerjemahkan aspirasi dan keberadaannya (existence) ke dalam realitas kebersamaan dengan postulat yang melekat dalam hak persamaan setiap manusia.[10] Karena itu, internal self-determination memberi jalan bagi hak komunitas untuk mengatur dan menentukan masa depannya dalam suatu negara, antara lain lewat sistem pemerintahan sendiri (self-governing community). Di sisi lain, negara yang mengakui hak self-determination akan terikat Pada kewajiban hukum, bahwa kebijakan nasional negara tersebut akan mengakui hak eksistensial masyarakat adat untuk menentukan pilihan pemerintahan dan hak otonomi mereka sendiri. Karena itu, pembicaraan tentang self-determination masyarakat adat tidak ditempatkan dalam kecurigaan yang menempatkan masyarakat adat sebagai ekstrimis politik yang menuju separatisme tetapi diletakkan pada gagasan yang menegaskan bahwa menentukan nasib sendiri memberikan perlawanan terhadap segala upaya diskriminasi, membuka keterlibatan dalam demokrasi dan mendobrak tekanan otoritarian.
Sekurang-kurangnya dalam dua proses yang dikerjakan PBB di atas, tersirat upaya untuk melepaskan diri dan tirani masa lalu sekaligus mengubah arah bandul masa depan agar kedekilan masa lalu tidak terulang. Upaya ini berkaitan erat dengan kemerdekaan asasi manusia. Dalam buku Hukum dan Perubahan Sosial , menulis bahwa “kemerdekaan biasanya ditujukan kepada capaian oleh komunitas untuk secara penuh mengatur dirinya sendiri.[11]
Kemerdekaan mengambil berbagai macam bentuk dan terjadi pada waktu dan wajah yang berbeda bergantung pada keragaman praktek kolonial. Pada giliran berikutnya, kemerdekaan tidak hanya menyangkut kolonial dalam pengertian yang tradisional tetapi juga digunakan terhadap kolonialisme baru dan globalisasi yang secara jelas merupakan bagian dari masalah krusial dan apakah kemerdekaan sungguh-sungguh diartikan sebagai berakhirnya kontrol kolonial atau mutasinya belaka”.
Dalam arti mengontrol mutasi sejarah diskriminasi dan pelecehan kemanusiaan, tuntutan self determination yang mengemuka terhadap kebijakan nasional masing-masing negara, termasuk Indonesia adalah terakomodasinya hak eksistensial masyarakat adat untuk berpartisipasi, termasuk menentukan pilihan pemerintahan lokal yang tepat dengan kebutuhan mereka dan menguatkan perekonomian mereka lewat dukungan penguasaan sumber daya alam (lihat pasal 1 ICCPR & pasal 1 ICESCR). Disitulah demokrasi yang sebenarnya, membuka ruang keterlibatan masyarakat dalam menjalankan pemerintahan dan menjamin kemakmuran mereka lewat penguasaan atas sumber daya. Barangkali inilah salah satu jawaban bagi kasus-kasus yang dihadapi masyarakat adat di Indonesia.
Tiga dasa warsa terakhir ,Sejak januari 1970 hingga mei 2007 konflik tanah dan sumber daya alam yang bersifat struktural berjumlah 1877 kasus, terjadi di 2804 desa, memperebutkan kurang lebih 10.892.203 Ha, yang mengakibatkan 1.189.482 KK dipelosok nusantara telah mengikutsertakan berbagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (terjadi di wilayah perkebunan, kawasan konservasi, kehutanan, pembangunan dan, sarana umum dan fasilitas perkotaan, kawasan industri atau pabrik, perumahan, kawasan parawisata, pertambakan, trasmigrasi) data ini belum termasuk konflik pertambangan dengan masyarakat.”Struktur masyarakat menentukan system hukum yang berlaku dimasyarakat itu”[12].
Ekstraksi sumber daya alam dan lingkungan hidup seringkali mengikutsertakan konflik sosial baik vertikal maupun horizontal yang mengakibatkan pelanggran terhadap hak sipil politik maupun pelanggaran terhadap hak ekonomi sosial budaya. Ekstraksi sumber daya alam dan lingkungan hidup secara umum telah menghilangkan akses dan hak-hak kolektif masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam.[13]
Implikasi dari hilangnnya hak-hak sipil politik dan hak ekonomi sosial budaya atas rakyat antara lain kemiskinan, pengangguran, alih fungsi kerja, hilangnnya identitas budaya, pengungsi pembangunan, ketegangan sosial dan terhambatnnya proses pembangunan terhadap masyarakat kecil serta gangguan terhadap stabilitas ekonomi dan politik. Jika kita mencermati kebijakan nasional terhadap masyarakat adat ada dua hal penting:
· Pertama, bukan dalam rangka mengakui keberadaan masyarakat adat, akan tetapi dalam rangka membatasi keberadaan masyarakat adat.
· Kedua, bukan dalam rangka menghormati masyarakat adat akan tetapi untuk menegasikan hak atas milik dan wilayah kelola masyarakat adat.
PENUTUP
Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) mendesak pemerintah agar memperhatikan masih banyaknya kasus-kasus masyarakat adat yang cenderung tidak memperhatikan hak asasi manusia (HAM) baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Mereka meminta agar pemerintah memenuhi hak-hak sipil dan politik maupun hak ekonomi sosial budaya dari masyarakat adat tersebut.
Hak atas sipil dan politik (Sipol) serta hak atas ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob), adalah bentuk pemenuhan terhadap HAM seseorang. “Kalau negara tidak memenuhi tanggung jawab tersebut, maka negara telah melakukan pelanggaran HAM dengan cara membiarkan (by omission).
· Perlu dirumuskan norma yang mengatakan bahwa pengakuan terhadap hak ulayat sekaligus merupakan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat melalui pembaharuan kebijakan.
· Penataan ulang relasi antar negara, masyarakat adat dan Modal.
· Pengakuan terhadap hak untuk menguasai wilayah masyarakat adat dan jaminan tidak akan ada pembangunan diwilayah mereka tanpa melalui persetujuan atau ketidaksetujuan secara merdeka tanpa ada paksaan dari siapapun.
Daftar Pustaka.
Abdul Manan ;”Aspek-Aspek Pengubah Hukum”,Kencana Prenada Media .Jakarta.2009 .hal.43.
.Bushar Muhammad,1994,”Asas – Asas Hukum Adat , Suatu pengantar”,Pradnya Paramitha, Jakarta .hal.21.
I Gst.Ngr.Tara Wiguna;”Hak – hak Atas Tanah pada masa Bali Kuna abad X – XI Masehi”,Udayana University Press th.2009.hal 111 -113.
Irfan Kortschak : “Nineteen” the lives of Jakarta”s street vendors .Mercy Corp Indonesia,Jakarta -2008 p.191
”Philippe Nonet Philip Selniznick : “Law and Society in Transition toward responsive Law”,Harper &Row Publishers ; New Yok Years 1978 .p 70 – 71
Soerjono Soekanto;”Hukum Adat Indonesia”.Raja Grafindo Persada .1983,Jakarta hal.113 - 116
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perubahan Sosial ,Suatu tinjauan teoritis serta pengalaman-pengalaman di Indonesia,Genta Publishing,Yogyakarta, hlm 188.
Surya Prakash Sinha, 1993, “Jurisprudence Legal Philosophy in a Nutshell”, St.Paul Minn West Publishing.co, hlm. 224.
Tjok Istri Putra Astiti;”Desa Adat Menggugat dan Digugat”.Udayana University Press Denpasar 2010 hal.9
Y. Zakaria, 2000, Abih Tandeh: Masyarakat Desa Dibawah Rezim Orde Baru, ELSAM, Jakarta, hlm. 47.
Wayan P.Windia ;”Bali Mawacara Kesatuan Awig – Awig Hukum dan Pemerintahan di Bali”.Udayana University Press.Th.2010 .hal.10.
Wayan P.Windya;”Menjawab Masalah Hukum Tanah Ayahan Desa ”BP.Denpasar th.1995.hal.100 - 101
Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008 hal.3
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945
Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang HakAsasi Manusia
[1] .”Philippe Nonet Philip Selniznick : “Law and Society in Transition toward responsive Law”,Harper &Row Publishers ; New Yok Years 1978 .p 70 - 71
[2] “Tjok Istri Putra Astiti;”Desa Adat Menggugat dan Digugat”.Udayana University Press Denpasar 2010 hal.9
[5] I Gst.Ngr.Tara Wiguna;”Hak – hak Atas Tanah pada masa Bali Kuna abad X – XI Masehi”,Udayana University Press th.2009.hal 111 -113.
[6] Irfan Kortschak : “Nineteen” the lives of Jakarta”s street vendors .Mercy Corp Indonesia,Jakarta -2008 p.191
[8] Y. Zakaria, 2000, Abih Tandeh: Masyarakat Desa Dibawah Rezim Orde Baru, ELSAM, Jakarta, hlm. 47.
[9] .Wayan P.Windia ;”Bali Mawacara Kesatuan Awig – Awig Hukum dan Pemerintahan di Bali”.Udayana University Press.Th.2010 .hal.10.
[10] Surya Prakash Sinha, 1993, “Jurisprudence Legal Philosophy in a Nutshell”, St.Paul Minn West Publishing.co, hlm. 224.
[11] Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perubahan Sosial ,Suatu tinjauan teoritis serta pengalaman-pengalaman di Indonesia,Genta Publishing,Yogyakarta, hlm 188.
[12] .Bushar Muhammad,1994,”Asas – Asas Hukum Adat , Suatu pengantar”,Pradnya Paramitha, Jakarta .hal.21.
semoga bermanfaat makalah kecil itu.
BalasHapus